Kamis, 08 Januari 2015

Parto pun Tersadarkan


Bis Rela jurusan Purwodadi - Solo melaju perlahan. Maklum karena penumpang sudah penuh sehingga si supir tidak perlu ngebut untuk rebutan penumpang dengan bis lain. Jika saja penumpangnya sedikit, pastilah bis yang body nya sudah seperti perawan era 45an tersebut seperti gerobak yang didorong sangat keras. Dimana-mana terdengar bunyi 'grobyak-grobyak' karena semua sambungan besi dan baja di badan bis sudah sangat tua. Apalagi jalanan Purwodadi - Solo banyak yang bergelombang karena struktur tanahnya yang bergerak.

Parto sampai di Terminal Tirtonadi sekitar jam 6 sore. Buru-buru dia menuju Mushala di pojok terminal yang dikenalkan oleh Didi Kempot lewat lagunya Tirtonadi. Sehabis shalat dia ke ruang tunggu bis yang lebih mirip seperti ruangan bengkel karena lantainya yang sudah menghitam karena terkena solar dan oli bis setiap hari.

Kukup lama dia menunggu bis jurusan Surabaya - Yogyakarta yang biasanya berhenti di salah satu terminal terbesar di Jawa Tengah tersebut. Untuk menghilangkan penat, Parto duduk di bangku besi yang catnya sudah banyak yang mengelupas sambil minum air mineral. Dia termenung....memikirkan banyak hal mulai dari orang berlalu lalang didepannya sampai urusannya sendiri.

Tiba-tiba pikiran Parto kembali ke 12 jam yang lalu ketika dia masih di Jakarta. Ya....Parto baru saja membuat keputusan yang sangat besar didalam sejarah hidupnya. Dia berani memutuskan untuk melamar Tumi meskipun dia tahu bahwa sebenarnya masih banyak hal yang harus diselesaikan berdua.

Salah satunya adalah perbedaan duniannya dengan dunia Tumi. Dunia Parto adalah dunia yang sangat menyenangkan karena tidak ada sekat dengan alam. Dia tak pernah membatasi dirinya dengan keadaan yang dihadapinya. Tidur di hotel berbintang sampai tidur di pinggiran sungai beralaskan alang-alang sudah pernah dia alami.

Makan di restoran elit sampai makan nasi sedikit basi di tengah hutan juga pernah ia alami. Naik pesawat kelas bisnis sampai berjalan kaki sepanjang malam yang mencekam juga pernah ia lakukan.

Semuanya begitu dinikmati Parto tanpa harus merasa malu atau bangga. Hidupnya begitu mengalir apa adanya.

Dia sedikit ketakutan akan kehilangan kehidupannya jika nantinya dia menikah dengan Tumi yang menurutnya kehidupan Tumi sedikit berbeda. Sebagai seorang perempuan dengan latar belakang kehidupan kota tentu Parto yakin Tumi tak akan pernah mengalami masa-masa indah kehidupan manusia seperti yang dialaminya.

Parto bingung! haruskah ia memilih untuk hidup bersama Tumi namun harus merelakan kehidupannya yang begitu disukainya dan berbagi dengan Tumi ataukah memutuskan untuk terus meneruskan derap langkah kehidupannya sendirian.

Pasti Parto masih ingat sejarah Soekarno ketika dia diasingkan oleh Belanda. Ketika itu Soekarno sebagai seorang pemimpin harus hidup sendiri di Pulau Ende Flores. Belanda sangat cerdik karena jika ingin membunuh Soekarno tidak berarti harus memotong leher atau urat nadinya, cukup diasingkan dari dunianya saja.

Nah, bisa dibayangkan jika Parto harus seperti Soekarno ketika dia hidup bersama Tumi. Tapi....Parto berfikir keras, masak sih Tumi sama dengan Kompeni Belanda??? tapi bisa saja kan Cintanya kepada Tumi itulah yang justru nanti menjadi penjara yang bisa lebih kejam daripada Pulau Ende????

aahhh...........masak bodo lah! gumam Parto dalam hati sambil membuang botol air mineral yang sebenarnya sudah kosong ke tong sampah didekatnya. Dia mulai melihat jam di hp nya yang sudah menunjukan pukul 6.30 menit. Tanpa sadar Parto ternyata sudah di Terminal itu sekitar 30 menit. Saat Parto masih asyik bercengkerama dengan pikirannya, tiba-tiba ada tangan yang menujur kearahnya....

Mas minta uang mas buat makan!?? ada suara lirih didepannya.
tanpa ba bi bu Parto langsung memberi isyarat tidak ingin memberi dengan menodongkan tangannya ke depan sembari menggerakan ke lima jari tangannya ke kanan dan kekiri tanpa bersuara.

Si peminta-minta itu pun segera berlalu tanpa berucap. Tetapi ternyata dia tidak berlalu terlalu jauh, cuma disamping Parto. Ternyata orang itu mengais botol air mineral yang dibuangnya tadi untuk dimasukan ke dalam tas kresek.

Buru-buru Parto tersadar bahwa orang tersebut benar-benar butuh uang untuk makan. Pakaiannya yang lusuh dan kaki kirinya yang harus disangga dengan tongkat menujukan bahwa orang ini adalah rakyat-rakyat Indonesia sebagai korban keningratan kelompok kaya tanpa perasaan. Mereka terlalu sibuk menumpuk uang sehingga lupa kehidupan kumal di sekelilingnya.

Parto langsung mencari uang receh di saku dan tas punggungnya. Tetapi sial ternyata dia cuma mendapatkan uang 200 rupiah. Dia tidak berani membuka dompet karena disitu uangnya tinggal 24 ribu untuk beli tiket bis cepat ke Jogja. Dia ingat betul bahwa uang didompetnya tinggal 24 ribu. Lalu buru-buru dia berikan 200 rupiah itu ke gelandangan tersebut.

ini pak....suara Parto serak menahan sebuah emosi yang sangat dalam. Dia merasa bersalah tidak bisa memberi uang banyak dan tadinya menolak orang itu.

dia terus memperhatikan orang itu mengais tong sampah yang baunya agak menyengat karena sampah kering dan basah bercampur jadi satu.hatinya tidak tega orang itu harus bergelut dengan kotoran untuk sesuap nasi sedangkan orang lain sangat mudah mengkorupsi uang jaminan sosial.....siapakah yang bersalah dalam hal ini? Parto bergumam dalam hati.

sembari terus melihat orang itu, dia berani membuka dompet sapa tau ada uang yang menyelip di dompet. dan ternyata benar ada uang 5000 rupiah disela-sela dompetnya.lalu dia berikan uang itu kepada gelandangan lusuh tersebut.

ini pak buat beli makan, maaf ya. Parto berusaha membayar sikap penolakannya dengan prinsip hukum jual beli. ketika dia mengucapkan maaf dan orang itu tidak marah, maka Parto berfikir bahwa secara hukum orang itu telah memaafkannya. sama halnya ketika dia beli barang di supermarket.
terima kasih banyak mas....terima kasih terima kasih! kata orang tersebut.
hatinya Parto seperti tersayat-sayat, kasihan dan emosi bercampur jadi satu.

didalam hati Parto bertanya, yang mana sih tanggungjawab sosial, belas kasihan, moral dan etika dalam kehidupan???

(bersambung......................)
London

Rabu, 07 Januari 2015

Kekalahan Parto

Suatu saat Parto sakit kuning atau Hepatitis A. Salam, bapaknya Parto berusaha untuk membawa Parto ke puskesmas terdekat namun Parto menolak karena dia tahu nanti sesampainya di puskesmas akan disuntik oleh perawat desa.

Untuk menyiasatinya, Salam meminta Romelah, kakaknya Parto untuk membujuknya.

Suatu hari ketika Parto bermain di sungai bersama teman-temannya, Romelah datang dengan maksud membawa kabar baik.

Parto kecil tidak saja pandai berenang tetapi juga dikenal oleh orang kampung sebagai anak sungai karena sehari-hari terus disungai. Ada saja yang dilakukan seperti mandi, bermain 'jumpritan' mencari ikan, dan mencuci baju. Bermain jumpritan adalah favoritnya Parto. Permainan ini biasanya diikuti oleh beberapa orang. caranya, yang kalah hum pim sut pertama kali harus memegang kepala teman-temannya. nah, teman-temannya ini harus menyelam dan sembunyi didalam air sesembari muncul di permukaan agar tidak kena kepalanya.

Parto, kamu mau diajak ke Pantai Grajakan sama bapak...cepet sana pulang...!! Romelah memanggil Parto yang sedang mandi di sungai bersama teman-temannya.

Ayo cepetan, nanti aku tinggal.......!!! sambung kakaknya dari pinggiran sungai.

Grajagan adalah satu-satunya pantai di daerah selatan Banyuwangi yang dikelola oleh pemerintah. Ia menjadi primadona masyarakat Watu Jati karena untuk mencapai ke daerah tersebut hanya dibutuhkan waktu sekitar satu jam naik sepeda pancal. Setiap minggu Grajakan selalu dipenuhi oleh pengunjung. Nah, bapaknya Parto sering mengajak Parto dan Romelah kesana.

Ahh....bohong, paling-paling aku mau disuntik!! kata Parto. Parto seperti mencium konspirasi tingkat tinggi antara Romelah dan Salam. Parto memang sangat takut sama suntik. Bahkan ketika ada imunisasi cacar di sekolah dia juga bolos pulang.

Nggak, tuh lihat bapak sudah mengeluarkan sepeda. Cepetan nanti keburu siang...!! Romelah berusaha meyakinkan Parto yang masih agak tidak percaya dengan ajakan ke Grajakan tersebut. Dia masih terus bermain dengan teman-temannya di dalam air sungai yang agak keruh.

Ya udah kalau gitu, aku berangkat sendiri dengan bapak....!! kata Romelah sambil ngeloyor pergi meninggalkan Parto bersama teman-temannya.

Tapi lama-lama Parto juga ingin tahu, masak iya sih bapak dan kakaknya akan ke Grajagan. Padahal itu kan tempat favoritku....bisik Parto dalam hati.

Akhirnya Parto pun bergegas menyusul kakaknya yang sudah hampir sampai rumah. Parto berlari-lari kecil sambil menyerempangkan bajunya di pundak.

Memang pada waktu kecil Parto tidak pernah memakai baju, cuma disarungkan atau diserempangkan dipundak. Makanya kulitnya hitam dan rambutnya merah karena selalu mandi di sungai tiap hari. Parto bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam mandi di sungai bersama teman-temannya.itu juga yang membuat Parto lupa makan dan memperhatikan kesehatannya yang akhirnya menyebabkan Parto terancam penyakit Liver.

Ketika Parto akan sampai di rumah, seketika itu ada dua orang yang menyergapnya. Mereka adalah pamannya Parto, Sofyan dan tetangganya Parto bernama Sutip yang dipesan khusus oleh bapaknya Parto untuk membantu menangkap Parto.

Parto meronta...tapi tidak berdaya karena dua orang kekar tersebut langsung menangkap tangan dan kakinya. Parto dibawa kedalam rumah seperti seorang tahanan perang. Dia tak begitu tak berdaya meronta dalam jerit tangis yang memilukan.

Sesampainya dirumah, Parto diletakan di meja besar yang sudah disiapkan untuk Parto. Dokter Mansur juga sudah didatangkan untuk menyuntik Parto. Tetapi permasalahannya Parto sangat benci dan takut sama jarum suntik. Makanya dia tidak pernah ke dokter kalau sakit. Dia biasanya cuma tidur dirumah saja.

Parto masih terbaring di atas meja seperti tawanan perang. Tangannya dipegang dengan sangat kuat oleh dua orang sewaan Salam. Parto melihat keduanya seperti algojo yang siap menghujamkan pedangnya ke leher Parto.

Parto terus menangis dan meronta sekuat tenaga. Tangisan nya semakin kuat seskipun dia tahu tidak akan mampu melawan kedua algojo tersebut.

Jancuuuuukkk, matamuuuuuu, asuuuuuuuu...........tiba-tiba Parto mengucapkan tri-sila bahasa tersebut untuk menumpahkan kejengkelannya kepada kedua algojo yang tak pernah bersuara sedikitpun selain memegangi dengan erat tangan dan kakinya Parto.

Parto mengucapkan kata-kata tersebut berkali-kali. Salam terkejut dan seketika menyumpal mulutnya Parto dengan baju agar Parto berhenti mengucapkan kata-kata kotor tersebut.

Namun Parto tak mau kalah begitu saja. Dia seakan tidak mau walk out (WO) dari pertarungan. Tiga kata itu terus diucapkan berkali-kali oleh Parto sambil terus meronta meskipun mulutnya sudah penuh dengan sumpalan baju. Dia tak peduli lagi dengan semua orang yang ada di situ.

Si dokter pun juga masih membisu menunggu titah dari Salam sebagai pemimpin konspirasi. Dia tak habis pikir kenapa bisa menemukan kata tri-sila tersebut di sebuah rumah reot di Watu Jati. Apalagi kata tersebut keluar dari mulut seorang anak kecil yang sedang meronta diatas meja.

Padahal tiga kata itu adalah kata paling seronok, jorok dan tidak pantas diucapkan dimuka umum. Jancuk adalah kata yang sering diucapkan oleh orang-orang Jawa Timur ketika mereka marah. Matamu kalau diucapkan dengan intonasi tertentu akan bermakna jelek karena mengandung unsur penghinaan terhadap seseorang yang diajak bicara. Sedangkan asu jelas merupakan konotasi dari anjing sebagai binatang yang menjijikan bagi umat Islam.

Selain meronta dan menangis, sesekali Parto juga berusaha meludahi dua orang algojo yang masih memegangi tangan dan kakinya. Beberapa kali Parto juga berusaha menjejakan kakinya. Tangannya juga terus diputar-putar dengan maksud agar genggaman dua orang tadi lepas.

Sutip Asuuuuu, Kowe Asu Tiiipppp...Raimu Yaaaaannn.....jancuuuuuuuuk!!!!! kata Parto berulang-ulang.

Ibunya Parto, Jamilah yang dari tadi cuma mendengarkan dari dapur juga akhirnya tak tahan untuk ikut mengurung pertahanan Parto dengan cara menampar mulutnya Parto. Jamilah juga berkata didekatnya Parto kalau tri-sila tersebut tidak boleh diucapkan.

Parto ternyata tidak diam atau takut tapi Jamilah juga ikut diludahi. Dia terus mengumpat. Bahkan kali ini kata-kata yang keluar semakin tidak karuan.....semakin saru dan tidak pantas didengar oleh orang lain karena sudah menyentuh bagian tubuh manusia.

Jelas kata-kata itu membuat orang tuanya Parto malu kepada semua orang yang ada disitu.

Dokter Mansur yang dari tadi sudah menunggu diruang tamu belum bisa berbuat banyak.  Dia menunggu arahan dari Salam yang masih sibuk menyumpal mulutnya Parto. Rupanya dia juga tidak tega melihat Parto yang diperlakukan seperti tahanan perang.

Gimana pak, jadi disuntik? kata dokter.

Parto yang mendengar kata 'suntik' dari dokter tersebut kontan juga melihat ke dokter dan berusaha meludahi si dokter dan mengata-ngatai dokter tersebut. Mungkin yang ada di benak Parto pada waktu itu adalah dokter tersebut adalah orang yang paling bertanggung jawab atas semua ini. Dialah biang keroknya sehingga dia harus diperlakukan seperti tahanan perang.

Tanpa pikir panjang Parto mengatai dokter dengan kata-kata jorok.

Jancuk koen Sur, matamu, asu, raimu bangsaaaaatttttttttt@!!!!!!! kata Parto sambil meronta ingin menendang si dokter yang bernama Mansur. Dia adalah dokter kenalan bapaknya Parto dan sering bertugas ke kampung-kampung.

Ya udah pak di suntik sekarang aja..! kata bapaknya Parto sambil memberi kode kepada dua algojo Sofyan dan Sutip untuk membalikan badannya Parto biar bisa tengkurap. Untuk urusan ini jelas dua orang saja tidak cukup, dibutuhkan empat orang untuk membalikan badannya Parto. Jadinya paman, tetangga, bapak dan ibunya Parto bersama-sama membalikan badan Parto yang semakin lemas karena terlalu banyak keluar energi.

Setelah tengkurap, si Dokter mendekat sambil memegang jarum suntik yang sudah diisi obat ditangan kanannya. Parto tidak kalah akal, dia menengadahkan dan menengok ke kanan kiri untuk meludahi si dokter yang sudah membubuhkan obat bius di pantatnya. Disisa-sisa tenaganya yang sudah mulai habis, Parto masih berusaha meludahi sang dokter meskipun tidak kena sambil terus mengumpat.

jjuuussssssssssssss, akhirnya jarum suntik yang menjadi musuh bebuyutan Parto itu berhasil menembus daging pantatnya. Pada saat jarum suntik menembus pantatnya, Parto tidak saja seperti kalah bermain perang-perangan tetapi juga seperti kalah bermain kelereng sampai tidak punya sebutir kelereng pun disakunya. malu, marah, dan semua jenis amarah bercampur jadi satu. Tak rela rasanya dia harus kalah seperti ini. Sangat menyakitkan dan bahkan jauh lebih sakit rasanya daripada jarum suntik yang hanya beberapa detik menembus pantatnya.

Akhirnya dia hanya bisa menangis diatas meja seperti seorang gadis yang kerampokan keperawanan. Tak ada lagi gerak meronta dari tangan dan kakinya. Tubuhnya begitu lemas, meringkuk diatas meja. Yang ada adalah tangisan lirih.

Parto pun tak menyadari bahwa semua orang langsung keluar rumah seketika setelah dokter mencabut jarum suntik dari pantatnya Parto.

Dokter Mansur yang dari tadi sudah merasa malu karena terus dikata-katai dan diludahi Parto juga langsung cabut dari rumah. Bapak dan ibunya Parto tidak henti-hentinya minta maaf atas semua yang telah dilakukan oleh anak laki-laki satunya tersebut.

Drama penyanderaan selama sekitar 10 menit itu berakhir dengan kekalahan Parto yang lemas menangis diatas meja. Tetapi didalam hatinya dia sedikit bisa membusungkan dada karena bisa mengeluarkan semua ekspresinya kepada semua orang yang telah berlaku curang kepadanya.

Ga apa-apa aku kalah kali ini, menangis pun bukan berarti cengeng. Dokter itu yang penakut karena dia ga berani 'duel satu lawan satu' dengan ku....!!! kata Parto didalam hati.
jika aku bertemu dia, pasti aku akan mengajaknya duel........mungkin itu yang dipikirkan Parto saat itu.

Dan drama penyanderaan hari itu diakhiri dengan kekalahan Parto. Dia merasakan kekalahan itu begitu menyakitkan, lebih sakit daripada jarum suntik yang menancap di pantatnya...

Belajar Toleransi dari Para Imamiyah

Fatwa NU tentang bolehnya para jamaah shalat Jumat menginterupsi khatib yang dianggap 'ngawur' seperti menjelek-jelekan orang lain, mengafirkan kelompok Islam yang tak sepaham maupun menyebarkan kebencian telah memantik reaksi yang beragam dari umat Islam di Indonesia terutama golongan muda.

Kelompok yang menentang fatwa tersebut utamanya mempertanyakan validitas fatwa tersebut dilihat dari jurisprudensi yang ada dalam Islam. Misalnya Imam Malik yang secara tegas menyatakan tidak diperbolehkannya jamaah Shalat Jumat berbicara diantara dua khutbah.

Bagi yang setuju dengan fatwa tersebut, mereka berpendapat bahwa memang tidak seharusnya ibadah shalat dijadikan ajang 'ngerumpi' karena bisa mempengaruhi kualitas ibadah tersebut. Seperi yang dikatakan oleh Mahbub Maafi Ramdlan dari Lembaga Bahtsul Masail NU bahwa interupsi boleh dilakukan asalkan didukung oleh pengetahuan yang benar untuk mendukung interupsinya tersebut.

Fatwa NU ini sebenarnya agak terlambat dalam merespon gejala radikalisme agama di Indonesia. Tak bisa dipungkiri bahwa sejak satu dekade terakhir paham radikal Islam dikembangkan melalui kutbah-kutbah Jumat dan pengajian. Padahal salah satu fungsi shalat Jumat adalah untuk merefleksikan aktifitas umat Islam dalam seminggu terakhir. Kutbah harus mampu memperbaiki kualitas hidup dan ibadah umat, bukan justru menjadi 'kompor' yang memantik kebencian dan kemarahan.

Di beberapa masjid di kota-kota besar, seringkali kita mendengar isi kutbah yang lebih mirip dengan isi demonstrasi. Jika saja tidak ada larangan dari Imam Malik, mungkin para Jamaah tersebut sudah berteriak-teriak karena tak tahan untuk segera beraksi.

Tentu fenomena kutbah 'sontoloyo' ini menjadi sinyal kemunduran toleransi dalam Islam. Padahal Nabi Muhammad diutus oleh Tuhan untuk memperbaiki tabiat - nafsu manusia. Para khalifah juga masih mengikuti jejak nabi untuk tidak saling menyalahkan meskipun wafatnya Rasulullah tidak diikuti oleh tuntunan dari Al Quran dan Al Hadits tentang sistem pergantian kepemimpinan.

Tradisi toleransi masih berlanjut hingga masa imamiyah meskipun sebelumnya sejarah Islam telah berdarah-darah pasca peperangan kelompok Ali vs. Muawiyah dan beberapa keturuan dari dinasti Abasiyah dan Ummayah.

Ada pelajaran penting yang bisa dipetik dari keempat imamiyah, Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali mengenai toleransi. Keempat imam tersebut secara tegas sangat menghargai perbedaan pendapat meskipun semua umat Islam sedunia tentu mengakui kepakaran dari keempat imam tersebut.

Ketika Khalifah Al Makmun ingin menjadikan Al Muwatha, kitab mahakarya dari Imam Malik, sebagai satu-satunya pegangan resmi pemerintah untuk menafsirkan Islam, Imam Malik justru menolak. Dia meminta kepada sang khalifah untuk membiarkan umat Islam memilih pendapat yang sesuai dengan mereka.

Imam Syafii yang sangat masyhur ketokohannya di bidang ilmu fiqih juga berpendapat 'oo Ibrahim, jangan ikuti semua ijtihadku karena kamu seharusnya punya pendapat sendiri tentang agama (Islam).

Pendapat yang menghargai toleransi juga bisa kita jumpai dari sang pendiri hukum Islam, Imam Hanafi. Meskipun dia tidak mempunyai karya fenomenal seperti Imam Malik dan Imam Syafii, namun kepakarannya dalam hukum Islam tak perlu diragukan. Salah satunya adalah mengenai penghormatan Imam Hanafi tentang perbedaan pendapat. Dia berpendapat 'sepanjang yang aku tahu ini (ijtihad) adalah usaha terbaik ku namun jika ada orang yang berpendapat lebih baik maka harus diperioritaskan.

Imam Hambali sebagai imam paling muda dari ketiga imam diatas juga berpendapat 'jangan ikuti aku, Maliki, Syafii, Hanafi atau yang lain tetapi ikutilah sumber yang mereka jadikan panutan yaitu Al Quran dan Al Hadits.

Lalu, jika saat ini tiba-tiba ada begitu banyak khatib dan penceramah yang menjelek-jelekan orang atau agama lain, maka seharusnya mereka hidup jauh sebelum keempat imamiyah tersebut ada atau bahkan terlahir sebelum Islam diperkenalkan oleh Rasulullah SAW. Wallahualam bissawab

London, 7 Jan 2014