Selasa, 03 Februari 2015

Program Jokowi: Sinking the Ship

SOAS baru saja menggelar diskusi yang menghadirkan Dr. Marcus Mietzner dari ANU Australia yang membedah kinerja Jokowi dalam 100 hari pertamanya di Istana Negara.

Sebenarnya sangat menarik paparan Marcus dan hampir semuanya saya setuju kecuali dua hal yang menurut saya menjadi layak untuk dikritisi.

Pertama analisisnya Markus yang menjadikan program penenggelaman kapal yang mencuri ikan di Indonesia sebagai salah satu kegagalan. Disini lah saya mulai bertanya-tanya kenapa dia justru memasukan program Sinking the Ship tersebut sebagai kegagalan padahal kebijakan Susi tersebut begitu populer di Indonesia. Bahkan Susi seperti Baharudin Lopa di era Gus Dur. Jika tidak ada kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang rajin menangkap nelayan asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia, mungkin nasib Jokowi akan sama dengan Gus Dur. Gejolak politik terutama perang Baratayudha antara KPK vs. Polri bisa digunakan oleh lawan politik Jokowi untuk melengserkannya dari Istana.

Rasa penasaran tersebutlah yang kemudian mendorong saya untuk mengangkat tangan mengajukan pertanyaan kepada Marcus kenapa dia justru menjadikan program favorit tersebut sebagai kegagalan.

Marcus pun menjawab bahwa tidak perlu menenggelamkan kapal. Cukup dengan menangkap awak kapal, diproses di pengadilan dan pelakunya di penjara. Nah kan, ini menunjukan bahwa Marcus tidak membaca Indonesia dengan seksama. Bukankah semua kapal yang ditenggelamkan sudah diputus bersalah di pengadilan.

Analisis kedua yang saya tidak setuju adalah hukuman mati bagi pengedar narkoba. Namun harus saya tegaskan bahwa yang saya kritisi bukan hukuman matinya melainkan sisi subjektifnya. Kenapa dunia luar tidak protes ketika Densus 88 punya protap selalu menembak mati (orang yang dituduh sebagai) pelaku terorisme di tempat tanpa di proses dulu di pengadilan. Padahal mereka juga punya hak untuk membela diri sebagai bagian dari due process of law. Namun kenapa kali ini pengedar narkoba yang sudah tertangkap tangan membawa barang terlarang justru dibela?

Atau, bagaimana jika misalnya Indonesia berhasil menangkap pelaku illegal logging yang katanya merusak hutan di Indonesia? Apakah dia akan protes? Saya kira tidak.

Jika saja Marcus meletakan persoalan hukuman mati ini lebih proporsional dan objektif, mungkin saya akan menerima pendapatnya. Namun jika hanya melihat Indonesia secara parsial, saya kira itu kurang tepat untuk dibicarakan dalam forum ilmiah.

Atau, mungkin ini hanya strateginya Marcus agar orang Indonesia juga berani menyuarakan pendapatnya di forum internasional? Tentu akan selalu menarik mencermati sepak terjang Jokowi. Bukan hanya karena dia seorang presiden yang sangat populer melainkan karena Indonesia juga terlalu seksi bagi dunia internasional.

London, 3 Feb 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar