Senin, 23 Februari 2015

Film The Theory of Everything

Baru saja menonton film The Theory of Everything yang mengisahkan perjalanan hidup sang fisikawan dan filosop Inggris Stephen Hawking. Sebuah film yang luar biasa dan memberikan inspirasi bagi setiap penonton untuk mengalahkan semua keterbatasannya.

Meskipun Profesor Hawking mengalami kelumpuhan total kecuali otak dan saraf motorik seksualnya (sehingga dia masih bisa mempunyai tiga anak dari Jane, istrinya), satu hal yang paling aku suka dari prinsipnya Hawking ketika menolak bantuan dari teman dan orang tuanya. Profesor Hawking sangat mandiri dan percaya bahwa menjadi ilmuwan adalah prioritas utamanya. Prioritas yang kedua adalah menjadi penulis terkenal dan baru setelah itu hidup normal seperti manusia lainnya.
Namun demikin bukunya 'The Brief History of Time telah menjadi best seller yang terjual jutaan eksemplar di seluruh dunia. Sebuah pencapaian yang sangat luar biasa.

Mungkin prinsipnya tersebutlah yang mendasari Profesor Hawking menolak pemberian kehormatan dari Ratu Inggris.

Minggu, 15 Februari 2015

Misteri PhD

Sebenarnya menjadi mahasiswa PhD itu kunci utamanya bukanlah pintar atau kaya melainkan endurance (ketahanan) atau yang dalam bahasa umumnya disebu Istiqamah. Pintar mungkin justru menempati posisi ketiga atau yang kesekian kalinya karena setelah kita punya daya tahan yang bagus, elemen penting nomor dua nya adalah motivasi. Dua hal ini menjadi bagian penting yang tak boleh hilang selama menjadi mahasiswa PhD selama lebih dari 1000 hari.

Kenapa endurance dan motivation yang penting? Bukankah syarat kelulusan mahasiswa doktor itu harus menemukan teori baru, barang baru, dan semua hal-hal yang belum pernah diteliti sebelumnya? Nah, untuk bisa mendapatkan maha karya itu bukankah dibutuhkan kecerdasan otak yang luar biasa?

Mayoritas masyarakat punya anggapan seperti itu terhadap mahasiswa doktoral. Namun setelah masuk kedalamnya baru mereka akan tahu bahwa pinter/cerdas itu penting namun masih kalah dengan endurance dan motivation.

Kenapa? Karena selama berhari-hari dan berbulan-bulan dalam kurun tahunan seorang mahasiswa PhD nyaris bekerja sendiri. Supervisor menganggap mereka sebagai kolega yang tak harus disetir setiap hari. Supervisor baru akan meminta mahasiswanya menghadap jika ada sesuatu kesalahan serius dari penelitian si mahasiswa tersebut. Jika aman-aman saja dan hanya punya persoalan yang sepele biasanya hanya cukup pemberitahuan melalui email.

Beda dengan mahasiswa Master dan Undergraduate yang punya timetable sangat jelas dan padat. Bahkan setelah tiga tahun menjadi mahasiswa PhD baru aku tahu bahwa menjadi mahasiswa master itu jauh lebih berat. Semua tugas kuliah harus selesai tepat waktu atau kena pinalti jika terlambat mengumpulkan.

Lalu kenapa banyak mahasiswa Doktor yang seringnya lulus terlambat jika PhD bukan sesuatu yang sulit? Jawabnya gampang saja. Karena rata-rata dari mereka tidak punya dua elemen penting tadi. Seringkali mahasiswa PhD terlena tidak kerja keras karena tidak ada target dari supervisor. Jadinya mereka menjadi full time traveller atau full time worker dan hanya menjadi part time researcher.

Namun ternyata lulus telat dari kuliah PhD itu masih jauh lebih baik. Ada beberapa yang drop out (DO) atau walk out (WO). Kalau DO karena mereka terpental, kalah bertarung selama menjadi PhD. Mahasiswa yang DO ini juga bukanlah mahasiswa yang tingkat kecerdasannya jelek melainkan justru seringkali cenderung pinter. Kelemahannya mereka punya tingkat endurance yang jelek atau tidak bisa mengatur motivasi sehingga seperti mobil yang kehilangan setir.
Kalau mahasiswa PhD yang WO biasanya mereka yang berusaha mengembalikan endurance dan motivation yang pernah hilang namun karena tekanan atau godaan yang datang terlalu besar maka memutuskan untuk menyudahi pertarungan ketika bel pertandingan belum dibunyikan untuk mengakiri pertarungan. Mereka menyerah kalah.

Jadi kalau menjadi mahasiswa PhD itu mudah kenapa banyak yang takut untuk masuk ke dunia PhD. Apakah misterinya terlalu gelap dan sulit terbaca?

London

Selasa, 03 Februari 2015

Salju pun Turun Memutihkan London

Banyak teman-teman Indonesia yang ada di London begitu menantikan datangnya salju. Bahkan mungkin mereka sampai bermimpi main salju kali ya. Aku sendiri tidak begitu mengharapkan salju namun juga senang sih jika ternyata turun salju asalkan banyak dan lama. Kalau cuma sebentar apalagi bercampur hujan mending ga usah turun salju.

Nah tadi malam sekitar jam 3-4 salju turun cukup lama sehingga memutihkan genteng rumah, jalan dan kebun di belakang rumah. Ini salah satu penampakannya.
Mungkin untuk tahap kedua akan turun salju yang lebih tebal lagi karena memang biasanya begitu rutinitasnya.

Program Jokowi: Sinking the Ship

SOAS baru saja menggelar diskusi yang menghadirkan Dr. Marcus Mietzner dari ANU Australia yang membedah kinerja Jokowi dalam 100 hari pertamanya di Istana Negara.

Sebenarnya sangat menarik paparan Marcus dan hampir semuanya saya setuju kecuali dua hal yang menurut saya menjadi layak untuk dikritisi.

Pertama analisisnya Markus yang menjadikan program penenggelaman kapal yang mencuri ikan di Indonesia sebagai salah satu kegagalan. Disini lah saya mulai bertanya-tanya kenapa dia justru memasukan program Sinking the Ship tersebut sebagai kegagalan padahal kebijakan Susi tersebut begitu populer di Indonesia. Bahkan Susi seperti Baharudin Lopa di era Gus Dur. Jika tidak ada kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang rajin menangkap nelayan asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia, mungkin nasib Jokowi akan sama dengan Gus Dur. Gejolak politik terutama perang Baratayudha antara KPK vs. Polri bisa digunakan oleh lawan politik Jokowi untuk melengserkannya dari Istana.

Rasa penasaran tersebutlah yang kemudian mendorong saya untuk mengangkat tangan mengajukan pertanyaan kepada Marcus kenapa dia justru menjadikan program favorit tersebut sebagai kegagalan.

Marcus pun menjawab bahwa tidak perlu menenggelamkan kapal. Cukup dengan menangkap awak kapal, diproses di pengadilan dan pelakunya di penjara. Nah kan, ini menunjukan bahwa Marcus tidak membaca Indonesia dengan seksama. Bukankah semua kapal yang ditenggelamkan sudah diputus bersalah di pengadilan.

Analisis kedua yang saya tidak setuju adalah hukuman mati bagi pengedar narkoba. Namun harus saya tegaskan bahwa yang saya kritisi bukan hukuman matinya melainkan sisi subjektifnya. Kenapa dunia luar tidak protes ketika Densus 88 punya protap selalu menembak mati (orang yang dituduh sebagai) pelaku terorisme di tempat tanpa di proses dulu di pengadilan. Padahal mereka juga punya hak untuk membela diri sebagai bagian dari due process of law. Namun kenapa kali ini pengedar narkoba yang sudah tertangkap tangan membawa barang terlarang justru dibela?

Atau, bagaimana jika misalnya Indonesia berhasil menangkap pelaku illegal logging yang katanya merusak hutan di Indonesia? Apakah dia akan protes? Saya kira tidak.

Jika saja Marcus meletakan persoalan hukuman mati ini lebih proporsional dan objektif, mungkin saya akan menerima pendapatnya. Namun jika hanya melihat Indonesia secara parsial, saya kira itu kurang tepat untuk dibicarakan dalam forum ilmiah.

Atau, mungkin ini hanya strateginya Marcus agar orang Indonesia juga berani menyuarakan pendapatnya di forum internasional? Tentu akan selalu menarik mencermati sepak terjang Jokowi. Bukan hanya karena dia seorang presiden yang sangat populer melainkan karena Indonesia juga terlalu seksi bagi dunia internasional.

London, 3 Feb 2015