Jumat, 28 November 2014

Intuisi Ibu Tak Bisa Dibohongi (bagian 2)

Parto sampai di Pantai Kuta Bali sesaat setelah matahari terbit. Setelah turun dari mikrolet dia berjalan perlahan di Pantai Kuta yang masih sepi. Hanya beberapa orang berlarian kecil menyusuri pantai. Sesekali mereka mendekat ke air yang masuk ke pantai karena terdorong oleh gelombang laut.   

Parto merebahkan tubuhnya di pohon sembari melihat jauh ke tengah lautan seakan-akan dia memperhatikan sesuatu yang tak bisa dilewatkan. Padahal dia tidak melihat apa-apa. Hanya lautan lepas yang membentang tak terbatas. Pas punggungnya yang sudah sangat lusuh digunakan sebagai sandaran.

Sebenarnya Parto juga ingin sekali berlarian kecil namun badannya terasa lemas setelah 24 jam melakukan perjalanan dengan satu kali makan nasi. 

"Ahhh.....enaknya kalau bisa makan di pantai.." Tiba-tiba Parto merasa perutnya begitu kosong. Dilihatnya uang receh di dompetnya tinggal 11.500 rupiah. Parto berfikir uang itu masih bisa digunakan untuk makan tiga kali dan naik angkot sekali.

Parto melihat ke sekeliling namun tak terlihat satu pun orang yang berjualan makanan. Hanya papan selancar yang terlihat berdiri berjajar di beberapa tempat. Maklum hari masih terlalu pagi bagi para penjual makanan untuk keluar ke pantai.

Setelah matahari agak meninggi barulah beberapa penjual makanan mulai berdatangan. Banyak dari mereka yang sebenarnya berasal dari kampungnya Parto. Para penjual makanan itu biasanya istri dari para buruh bangunan. Mereka mencari uang tambahan untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

"Nasi sebungkus berapa bu?" Kata Parto kepada seorang ibu penjual makanan yang lewat di belakangnya.

"1500 rupiah dek sebungkus. Isinya nasi, telor dadar dan kering tempe." Sang penjual makanan berhenti di belakang Parto sembari meletakan nampan tempat nasi ke pasir.

Parto mengambil satu nasi dan memberikan uang pas kepada si penjual. Tak sabar dia ingin melahap lezatnya nasi bungkus yang pastinya sudah sangat ditunggu oleh usus-ususnya yang mulai protes karena tidak bekerja semalaman.

Hanya butuh beberapa menit Parto menghabiskan nasi bungkus tersebut karena dia memang sudah sangat kelaparan.

Setelah menghabiskan bungkusan Parto melihat ke sekeliling. Dia lalu berdiri dan beberapa kali kepalanya menengok ke kanan dan kekiri. Dia berjalan ke sisi barat beberapa meter lalu kembali lagi.

Lalu matanya tertuju kearah bangunan persegi empat tanpa atap yang berada di tepi jalan dekat pantai. Ada beberapa orang yang berada di tempat itu. Parto melihat mereka membasuh muka dan kepala mereka dengan air. Parto bergegas menuju ke bangunan tersebut lalu masuk kedalamnya.

Dia gunakan kedua tangannya untuk mengambil air yang mengalir dari sebuah pipa kecil. Ternyata tempat itu adalah sumber air alami. Parto terlihat beberapa kali meminum air tersebut. Sesekali dia basuh muka dan rambutnya agar tidak terlihat kusam.

Setelah selesai minum dia kembali lagi ke tempat semula. Dia berbaring untuk memejamkan mata. Matahari masih setengah beranjak siang namun Parto sudah mulai kelelahan karena tadi malam cuma tidur beberapa jam. 

Pantai Kuta sudah mulai ramai dikunjungi para bule. Ada juga beberapa bule lokal yang kulitnya justru cokelat kehitaman karena sering berjemur di pantai. Para pelancong tanah air juga tidak kalah banyak. Maklum Kuta adalah magnetnya Bali. Hampir semua wisatawan yang ke Bali selalu berkunjung ke pantai dengan panorama sunset yang indah ini.

Ketika sore tiba Kuta bisa berubah seperti pasar malam yang penuh sesak orang orang berlalu lalang atau hanya sekedar berbaring di pasir-pasir putih di sepanjang bibir pantai.

Agghhhh....Parto mulai membuka mata sembari menggeliat. Dia duduk perlahan sembari melihat matahari yang mulai condong kearah barat. Lalu Parto mengambil sebatang ranting kering yang berada tak jauh dari tempat duduknya. Lalu dia berdirikan ranting tersebut. Dia lihat bayangan ranting masih lebih pendek dari ranting aslinya yang berdiri.

Parto memperkirakan saat itu sekitar jam setengah tiga sore dan masih masuk waktu Dhuhur. Begitulah dia selalu memperkirakan waktu karena dia tidak punya jam tangan. 

Parto lalu kembali kearah bangunan persegi untuk mengambil air wudhu dan shalat disamping bangungan tersebut. Ada beberapa orang yang juga shalat di tempat itu. Para pengunjung juga tidak ada yang memperhatikan. Mungkin mereka sudah terbiasa.

Selesai shalat Parto mulai nampak sedikit bingung. Dia bingung mau kemana. Tak mungkin dia selamanya menggelandang di Pantai Kuta. Apalagi uangnya juga sudah mulai menipis. 
Dia hanya punya dua pilihan. Pergi ke Tanah Lot di daerah Tabanan untuk menemui kakak sepupunya, Ilyas atau pergi ke Denpasar untuk bermalam di rumah pamannya, Sofyan. 

Namun Parto juga belum yakin dengan kedua pilihan tersebut sampai akhirnya setelah maghrib dia memutuskan untuk ke Denpasar naik angkot ke rumah pamannya. Namun dia juga belum pernah kesana. Dia hanya dikasih tahu bahwa rumah pamannya berada di Jl. Pulau Misol, sebuah gang kecil disebelah Jl. Imam Bonjol. Dia hanya berpesan ke sopir angkot untuk menurunkannya sedekat mungkin dengan Pulau Misol. 

Setelah sekitar 1 jam perjalanan Parto diturunkan oleh si sopir angkot di pertigaan kecil. Dia melihat kearah sebuah rumah yang berada di ujung pojok jalan dan betul tertulis No. 1 Jl. Pulau Misol. Lalu dia menyusuri gang kecil tersebut sembari melihat ke kanan dan ke kiri. Siapa tahu dia mengenali sebuah wajah yang begitu lama tak dia jumpai. 

Setelah beberapa menit berjalan dia melihat sebuah mushala di sisi kiri jalan. Dia berhenti sebentar tepat di sebelah mushala tersebut. Terdengar beberapa orang bercakap-cakap dengan bahasa yang begitu akrab di telinga Parto. Ya mereka menggunakan bahasa Jawa. 

"Pasti ini rumahnya Paman Sofyan.." Parto meyakinkan dirinya sendiri sembari perlahan masuk ke halaman mushala.

"Apa ini benar rumahnya Pak Sofyan..??" Parto bertanya kepada beberapa laki-laki muda yang duduk-duduk di depan mushala.

"Benar mas, itu rumahnya. Orangnya juga ada didalam kok. Silahkan diketok pintunya" Kata salah satu dari mereka.

"Terima kasih mas." Kata Parto singkat. 

Dia bergegas menuju kearah rumah yang tidak terlalu besar. 

"Ee....Parto sama siapa kamu kesini..? Ayo masuk. Ga usah lewat situ. Lewat dapur saja." Seorang perempuan paruh baya menyapa Parto dengan senyuman yang mengembang. 

Dia adalah istri Sofyan. Parto biasa memanggilnya dengan Bulek Narti. Orangnya cantik kuning dan langsing. Dia juga sangat ramah. Dia mempersilahkan Parto duduk di meja makan sembari mengambil piring yang berada tak jauh dari meja makan.

"Sendirian bulek. Aku mau cari kerja..!" Parto tanpa basabasi menjelaskan maksud kedatangannya ke Bali.

"Ya udah kamu kerja sama Pak Lek saja. Dia kan banyak proyek. Jadi kamu bisa bantu-bantu." Kata Narti sambil bolak balik mengambil lauk pauk dan sayur di lemari makan untuk dipindahkan ke meja.

"Ayo To makan. Pasti kamu lapar kan. Makan seadanya aja. Tadi siang aku tidak masak banyak." Narti mempersilahkan Parto sambil duduk di kursi di depan Parto.

"Terima kasih Bulek." Parto yang terlihat agak malu mulai perlahan mengambil nasi dan lauk. Parto mengambil tahu goreng, sepotong ayam pedas dan beberapa kerupuk. Tak ketinggalan nasi putih yang terlihat sedikit menggunung di piring Parto.

Mereka berdua terus berbincang-bincang sampai Parto selesai makan. 

"Nanti malam kamu tidur disini saja. Pamanmu masih ada urusan di Lombok. Besok dia baru pulang." Kata Narti kepada Parto. 
"Terima kasih bulek." Parto pun setuju dengan tawaran buleknya.

Dia tak bisa menyembunyikan rasa bahagia akhirnya bisa tidur di kasur setelah semalam tidur di kursi bis.

(bersambung) 













Tidak ada komentar:

Posting Komentar