Jumat, 06 April 2012

KERIKIL BUAH KARYA PARTO


Seri Novel 'Parto Da Gama, Kisah Santri Desa Menaklukan Dunia'

Hampir satu tahun Parto belajar di pesantren Darul Islam. Dia tinggal di Asrama Banyuwangi. Disebut dengan Banyuwangi karena asrama itu khusus untuk santri yang berasal dari Banyuwangi. Asrama-asrama tersebut sebenarnya punya nama asli dari bahasa Araba seperti Asrama Al Falah, Al Ghazali dan lain sebagainya. Namun santri lebih suka menamakan asrama-asrama tersebut berdasarkan asal usul santri yang tinggal di asarama tersebut. Ada Asrama Jember untuk santri dari daerah sekitar Jember, Asrama Jawa Tengah, Bali, Sumatera, Sulawesi dan beberapa daerah lain di Indonesia.

Parto tinggal di kamar berukuran 4x3 meter. Namun bukan untuk dirinya sendiri melainkan dia harus berbagi dengan delapan santri putra lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Banyuwangi. Di kamar inilah kemudian Parto mengenal Muhammad Rois, seorang santri anak orang kaya dari Desa Mangir di sebelah barat Banyuwangi. Dia akrab dengan Rois karena teman sekelas di SMP Pesantren. Rois adalah santri yang cerdas dan meskipun kaya tapi dia tidak pernah hidup berfoya-foya. Parto tahu bahwa Rois anak orang kayak arena setiap kali menjenguk Rois, orang tuanya selalu membawa mobil sedan mewah dan membawa berbagai macam makanan. Rois kemudian membagi-bagikan  makanan tersebut kepada teman sekamarnya.

Tidak ada ruang untuk menyimpan barang karena setiap kamar hanya mempunyai lemari untuk menyimpan barang-barang santri seperti baju, kitab atau uang. Bentuk lemari lebih mirip locker untuk menyimpan dokumen karena terdiri dari kotak-kotak kecil. Tidak ada fasilitas lainnya di kamar tersebut. Begitu juga kamar-kamar lainnya. Oleh karena itu ada beberapa santri yang membawa meja kecil untuk mengaji. Kasur menjadi barang haram, bukan karena santri tidak boleh membawa melainkan itu bukan tradisi pesantren.

Dunia pesantren memang unik. Ada beberapa tradisi yang tidak boleh dilanggar oleh santri jika mereka ingin berhasil. Pertama, mereka tidak boleh pulang kerumah sebelum 40 hari sejak pertama kali mereka tinggal di pesantren. Kemudian kepulangan yang kedua adalah setahun sekali menjelang bulan Ramadhan sampai sehabis hari raya sebagai libur panjang pesantren. Namun santri yang merangkap sekolah umum seperti Parto dan Rois tidak bisa pulang karena libur sekolah berbeda dengan libur pesantren. Jadi mereka berdua sering tidak pulang pada liburan tersebut.

Tradisi yang kedua adalah tidak boleh malas dan tertarik dengan lawan karena bisa menumpulkan otak sehingga susah memahami pelajaran. Selain itu, santri juga dihimbau untuk tidak hidup mewah selama di pesantren. Mereka harus meniru kebiasaan Rasulullah. Oleh karena itu santri tidur di lantai beralaskan sarung atau sajadah. Ada beberapa santri yang membawa selimut namun pada umumnya santri lebih suka tidur memakai sarung beralaskan sajadah tanpa bantal.

Parto sering tidak kebagian tempat tidur dikamar sehingga dia sering tidur di teras masjid. Dengan kondisi kamar yang penuh sesak oleh santri, semua tempat di pesantren yang ada tulisan ‘sandal harap dilepas’ menjadi tempat tidur santri. Mereka bebas tidur dimana saja. Ada yang tidur didekat tempat wudhu atau koridor yang menghubungkan antar asrama atau masjid. Pemandangan malam hari di pesantren menjadi mengerikan karena santri tidur dimana-mana seperti mayat tertutup sarung, bergelimpangan di setiap sudut lantai bangunan pesantren dengan bunyi dengkuran yang beraneka ragam.

Maklum, Pesantren Darul Islam mempunyai sekitar 2000 santri yang terdiri dari 500 santri putri dan 1500 santri putra. Kondisi santri putri lebih nyaman karena jumlahnya tidak sebanyak santri putra. Di asrama putra, kamar yang tersedia tidak mampu menampung semua santri untuk tidur bersamaan. Jika kamar hanya diisi satu atau dua santri, maka pihak pesantren memerlukan lahan yang luas dan uang yang banyak untuk membangun asrama santri. Padahal Darul Islam adalah pesantren tradisional yang menarik iuran bulanan sangat murah kepada santri, yakni 10.000 rupiah. Meskipun murah, ada beberapa santri yang tidak membayar secara rutin karena alasan ekonomi.

Biasanya santri yang belum melunasi iuran bulanan akan dipindahkan ke sebuah asrama yang khusus menampung santri yang belum membayar iuran. Didepan asrama itu ada tulisan gudang santri. Artinya, siapa saja yang tinggal disitu berarti belum membayar iuran. Pesantren sengaja tidak mengeluarkan santri yang tidak membayar iuran melainkan hanya menegur mereka dengan menyediakan bangunan khusus.

Parto beberapa kali pernah menghuni gudang santri karena uang kirimannya telat. Pada waktu itu kakeknya sakit sehingga ibunya harus membelah bambu tiang dapur, mengambil uang tabungan untuk biaya berobat sang kakek. Meskipun pernah beberapa kali menginap di hotel prodeo pesantren, Parto begitu menikmati kehidupan pesantren terbesar di Kabupaten Banyuwangi tersebut. Baginya, kehidupan pesantren tidak jauh berbeda dengan kehidupannya di desa. Yang membedakan hanyalah para petugas pesantren yang umumnya santri senior. Mereka tidak segan-segan menghukum santri yang melanggar aturan pesantren.

Santri wajib shalat berjamaah, mengaji Al Quran sehabis maghrib dan sekolah diniyah untuk mengkaji kitab-kitab klasik tentang Islam. Di dunia pesantren, kitab klasik tersebut biasanya disebut dengan kitab kuning karena kebanyakan warna sampulnya berwarna kuning. Santri seperti Parto dan Rois tentu mempunyai kewajiban lebih berat. Mereka harus sekolah umum di pagi hari, kemudian sekolah agama/diniyah sore hari dan malamnya masih harus mengaji Al Quran dan kitab klasik. Selain itu, mereka juga akan dibangunkan sekitar jam 3 pagi untuk shalat tahajut. Rutinitas pesantren itulah yang mengingatkan Parto sama Laila, anaknya Kyai Harun yang tidak pernah bermain dengan anak-anak kampung karena sibuk belajar.  

Ah…dulu aku mengolok-olok Laila, kini aku masuk dalam dunianya. Gumam Parto dalam hati. Namun kini setidak-tidaknya dia bisa bersaing dengan Laila. Sayangnya semenjak di pesantren, Parto tidak tahu dimana Laila sekarang berada. Pesantren telah menutup semua informasi dunia luar. Namun Parto juga tidak pernah ingin mencari tahu dimana Laila saat ini. Baginya yang paling penting adalah menikmati kehidupan pesantren seperti dia dulu menikmati alam desa.

Yang agak berat bagi Parto Cuma bangun tengah malam untuk shalat tahajut. Setiap santri akan dibangunkan oleh petugas jaga malam untuk shalat tahajut. Para petugas tersebut biasanya membawa tongkat atau gayung berisi air untuk dicipratkan ke muka santri agar mereka cepat bangun. Bahkan ada beberapa petugas yang membawa tongkat khusus berupa kayu yang ujungnya dibuat melingkar mirip teken. Tongkat tersebut digunakan untuk membangunkan santri yang malas dengan cara menarik kaki, tangan atau lehernya keatas. Parto pernah ditarik gara-gara dia tidak cepat bangun.

Siapa saja yang melanggar kewajiban diatas, maka akan dihukum. Hukuman yang paling ringan adalah membaca Al Quran sebanyak satu juz di kantor petugas pesantren. Pelanggaran yang tergolong agak berat adalah pelanggaran yang dilakukan berulang-ulang. Biasanya santri tersebut akan disuruh untuk membersihkan tiga blok kamar mandi. Masing-masing blok terdiri dari sepuluh kamar mandi.

Santri juga tidak boleh keluar dari areal pesantren kecuali hari Jumat sebagai hari libur pesantren. Setiap Jumat biasanya Parto keluar untuk sekedar jalan-jalan di tepian sungai yang berada didekat pesantren. Untuk keperluan sehari-hari, dia bisa membelinya di koperasi pesantren. Namun koperasi tidak menyediakan rokok karena santri tidak diperbolehkan merokok. Selain itu, radio, televisi dan semua jenis hiburan lainnya menjadi barang haram yang tidak boleh dikonsumsi oleh santri. Selama di pesantren santri terisolasi dari dunia luar. Hal ini dimaksudkan agar santri bisa berkonsentrasi dalam menuntut ilmu. Santri hanya bisa mengetahui dunia luar dari koran yang disediakan oleh pesantren. Biasanya koran tersebut ditempel didepan masjid.

Parto dan santri lain juga harus masak sendiri di dapur umum yang disediakan oleh pesantren. Mereka tidak boleh memakai kompor minyak tanah untuk memasak agar bisa menghemat biaya. Umumnya para santri akan membentuk kelompok-kelompok masak yang terdiri dari santri sekamar. Parto bersama delapan santri lain sekamarnya membentuk satu kelompok masak. Setiap kelompok biasanya membayar iuran bulanan yang diserahkan kepada ketua kelompok masak untuk membeli kayu bakar, sayuran dan bumbu-bumbu masak. Setiap santri, termasuk Parto umumnya sudah mempunyai beras hasil dikiriman orang tua mereka yang menjenguk santri setiap bulannya.

Untuk petugas masak dilakukan secara bergiliran, yakni empat orang santri sekali masak. Jadi untuk masak pagi empat orang dan masak sore empat orang. Tidak ada makan siang karena makan tiga kali sehari termasuk dalam kategori hidup berfoya-foya dan dihindari oleh sebagian besar santri. Jadi ketika siang nyaris tidak ada santri yang memasak di dapur umum. Jadi dapur umum seperti pasar di pagi dan sore hari namun sangat lengang ketika siang karena santri lebih memilih untuk tidur siang atau mengaji Al Quran di masjid ketika merasa lapar.

Tradisi makan dengan piring dan sendok juga tidak berlaku di pesantren. Sendoknya santri adalah tangan mereka sedangkan sebagai ganti piring adalah nampan besar untuk makan bersama. Satu kelompok masak biasanya membeli nampan besar yang cukup untuk makan lima sampai sepuluh orang. Dapur umum juga tidak menyediakan meja makan. Jadi santri makan diatas nampan yang diletakan diatas tanah. Nasi dan sayur biasanya dihidangkan ketika masih sangat panas. Tidak ada waktu untuk menunggu dingin karena alat masak dan tungku nasinya sudah ditunggu oleh santri lain. Jika nasi dan sayur sudah siap, salah satu santri yang mendapat giliran memasak akan memanggil santri lainnya.

Ketika semua anggota masak sudah duduk berjongkok mengelilingi nampan dan nasi dan sayur sudah campur, artinya mereka sudah siap untuk balapan. Santri yang paling tahan panas tentu bisa kenyang sedangkan yang tidak tahan panas akan kebagian sedikit nasi dan lauk. Tradisi makan ala pesantren ini seperti karapan sapi. Siapa yang paling cepat maka dialah pemenangnya. Santri yang baru masuk pesantren biasanya tidak mampu menandingi kecepatan makan santri senior di kelompoknya.

Parto pernah merasa jengkel karena pada awal mula kedatangannya di pesantren selalu tidak bisa kenyang karena kalah adu cepat makan. Maka dia sering mengajak Rois untuk masak di malam hari sehabis isya untuk mengganjal perut yang terus bernyanyi. Rois kalah karena dia tidak mau tergesa-gesa. Toh jika masih lapar dia punya uang untuk beli jajan di koperasi.

Namun ternyata masak malam hari juga tidak aman dari gangguan para santri lain yang ingin makan gratis. Biasanya santri-santri tersebut akan gabung makan dan Parto bersama Rois tidak kuasa menolaknya. Jika menolak biasanya akan diejek sebagai orang pelit yang dibenci Rasulullah.

Ada satu santri yang menjadi pelanggan tetapnya Parto dan Rois ketika masak malam. Dia adalah Hadi, santri tetangga kamar yang sangat terkenal suka minta jatah makan gratis. Parto pun menjadi jengkel dan ingin memberi pelajaran kepada Hadi. Maka dia punya ide gila agar Hadi menjadi jera. Dia bersama Rois memilih krikil-krikil kecil yang banyak bertebaran di sekitar dapur. Lalu mencucinya sampai bersih. Ketika selesai masak dan nasi sudah berada diatas nampan, dia memasukan krikil-krikil kecil tersebut kedalam nasi. Dia sengaja memasukan kerikil hanya di beberapa sisi nampan aja jadi dia nanti tidak ikut memakan kerikil tersebut. Lalu kemudian dia memilih tempat yang agak gelap agar ketika Hadi datang dan gabung makan tidak bisa melihat kerikil-kerikil tersebut.

Hadi…..ayo makan, biasanya kamu kan jadi pelanggan tetap, ga lengkap nih makan tanpa kamu!! Parto memanggil Hadi yang sedang tidur-tiduran di teras masjid sambil membaca kitab kecil. Hadi pun sangat senang dipanggil Parto.

Wah……tidak biasanya nih kamu mengajak aku makan. Semoga Allah memberi rejeki dan ilmu yang tak terkira jumlahnya kepada saudaraku ini! Kata Hadi sambil menepuk-nepuk pundaknya Parto.

Amien..jawab Parto singkat. Dia lekas bergegas mengajak Hadi ke tempat yang dia sebut sebagai pengadilan terakhir Hadi. Disitu sudah menunggu Rois yang sedang mencicipi masakan diatas nampan.

Ayo wes sikaaatt!! Ajak Parto kepada Rois dan Hadi. Dan ketiga santri itupun kemudian dengan lahapnya menyantap nasi beserta sayur tumis kangkung ala Parto. Selang beberapa menit kemudian terdengar suara kruukkkk….! Parto bisa mendengar dengan jelas bahwa suara itu berasal dari mulutnya Hadi. Artinya kerikil tersebut telah masuk kedalam mulutnya Hadi. Tapi Hadi hanya diam saja seolah-olah dia hanya makan nasi.

Duh!….wah aku makan kerikil, sialan! Parto berpura-pura makan kerikil agar Hadi tidak curiga bahwa dia sedang dikerjai malam itu.

Aku juga makan kerikil nih….Rois menyahut Parto tapi tidak memperlihatkan kerikilnya. Hadi yang menyadari Parto dan Hadi makan kerikil tetap santai menghabiskan nasi yang ada dihadapannya meskipun berkali-kali terdengar suara kruk…kruk…dari dalam mulutnya. Mungkin Hadi berfikir berasnya tidak dibersihkan terlebih dahulu sehingga masih banyak kerikil yang masuk ke mulutnya. Hadi tetap tidak sadar dan tidak mencerikan bahwa dia telah makan banyak kerikil. Hadi tidak sadar bahwa malam itu dia telah makan 15 kerikil hasil karya Parto.



Rabu, 04 April 2012

ALAMKU SURGAKU


Seri Novel 'Parto Da Gama, Kisah Santri Desa Menaklukan Dunia'

Hidup di desa dengan kondisi alam yang asri, jauh dari kebisingan kota merupakan anugerah dari Tuhan yang harus dinikmati oleh siapapun. Mungkin itulah yang ada di otaknya Parto. Dia merasa bahwa masa kecilnya tidak lengkap jika belum bersentuhan dengan alam. Baginya dan juga sebagian besar anak-anak di Desa Watu Jati, sawah bukan hanya tempat bekerja orang dewasa melainkan juga tempat bermain anak-anak setelah mereka pulang dari sekolah. Sungai tidak hanya dijadikan tempat mandi dan menyuci melainkan juga menguji nyali anak-anak desa untuk berenang atau bermain petak umpet.

Sekolah bagi Parto hanyalah pelengkap hidup. Maka hidupnya sudah sangat lengkap jika sudah bisa membaca dan menulis. Baginya hidup yang sesungguhnya bukanlah di bangku sekolah melainkan di alam bebas. Karena disitulah dia merasa bebas berkreasi tanpa harus takut oleh gertakan guru atau dimarahi orang tua. Oleh karena itu banyak anak Desa Watu Jati yang selalu kreatif membuat permainan mereka sendiri. Tidak ada jenis mainan yang dibeli di toko karena alam bagaikan surga yang menyediakan semua jenis permainan.

Bambu, kulit kelapa atau Jeruk Bali bisa disulap jadi mobil. Pelepah pisang atau pohon singkong bisa diubah menjadi senapan. Jika ingin lebih seru, mereka menggunakan peluru dari  buah-buahan yang banyak terdapat di desa.  Daun nangka bisa dijadikan mahkota atau tangkai daun singkong dijadikan wayang. Seluruh wilayah desa juga bisa diubah menjadi arena berbagai jenis permainan ketangkasan dan olah kecerdasan seperti perang-perangan. Semuanya bisa didapatkan secara gratis.

Bahkan jika ingin menikmati hiburan seperti layar tancap pun Parto tidak perlu membayar. Layar tancap biasanya masuk Desa Watu Jati di musim panas dibawa oleh penjual jamu untuk menarik minat warga desa. Jadi penjual jamu bisa mendatangkan banyak warga karena ada tontonan gratis. Jadi meskipun banyak warga yang datang, namun sedikit dari mereka yang membeli jamu. Layar tancap versi penjual jamu tersebut selalu rutin datang ke desa setiap tahun. Bahkan satu tahun bisa dua sampai tiga kali. Parto dan teman-temannya biasanya menonton layar tancap sehabis mengaji di masjid. Sepulang dari nonton dia tidak pulang ke rumah melainkan tidur di masjid bersama teman-temannya.

Hiburan gratis lainnya adalah video, yakni pemutaran film yang menggunakan beberapa telivisi yang terhubung dengan mesin pemutar film. Tontonan video biasanya diadakan oleh keluarga kaya yang ada di desa ketika mereka sedang mempunyai hajatan pernikahan atau sunatan. Video diputar semalam suntuk mulai sehabis isya sampai menjelang matahari terbit. Televisi-telivisi tersebut biasanya dihadapkan ke penonton, tamu undangan dan keluarga yang mempunyai hajatan. Jadi penonton dan tamu undangan tidak bercampur jadi satu.

Parto dan anak-anak desa lainnya selalu membawa uang dan pisau kecil ketika menonton video. Uang digunakan untuk membeli jajan sedangkan pisau digunakan mencari daun pisang untuk dibuat alas tidur ketika mereka mengantuk. Namun biasanya Parto sudah persiapan agar tidak mengantuk ketika menonton video. Dia selalu tidur di siang hari sebelum malamnya menonton video. Jadi kakeknya biasanya sudah menduga jika Parto tidur siang, berarti nanti malam pasti ada acara yang tidak mau dilewatkan. Baginya video sangatlah berharga karena tidak setiap hari orang punya hajatan dan menyediakan video sebagai tontonan gratis. Itulah sebabnya Parto dan teman-temannya tidak hanya menonton video di desanya melainkan juga desa-desa tetangga yang lumayan jauh.

Parto tidak pernah membaca buku atau belajar kecuali didalam kelas. Dia merasa bahwa buku tidak menarik karena berisi angka-angka atau deretan abjad yang tidak menjawab keinginannya. Jika mendengar kata Matematika, Parto selalu mengernyitkan dahi pertanda tidak paham. Dia mengaji di masjid pun tidak ingin mengerti kandungan dalam Al Quran melainkan ingin berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Baginya, menjadi Islam itu cukup dengan hanya bisa membaca Al Quran dan menjalankan rukun Islam. Parto begitu alamiah seperti alam yang telah membentuk daya kreatifitasnya.  

Namun ada satu anak yang sangat dibenci oleh Parto. Laila, seorang anak perempuan teman kelasnya yang selalu menjadi juara kelas. Laila tidak pernah bermain bersama anak desa lainnya karena hari-harinya dihabiskan dirumah untuk belajar dan mengaji sehingga hafal dan paham semua pelajaran yang disampaikan oleh guru. Laila adalah seorang anak dari kyai pemangku masjid di Desa Watu Jati, Kyai Harun. Kyai Harun adalah panutan masyarakat desa karena anak-anak mereka selalu mengaji setiap malam di masjid dibawah bimbingan Kyai Harun.

Parto membenci Laila bukan karena kecerdasan dan prestasinya. Tetapi karena Jamilah, ibunya Parto sering sering membanding-bandingkan Parto dengan Laila. Dia menganggap bahwa Parto sisi dunia lainnya Laila. Parto hanyalah seorang anak yang selalu bermain sampai lupa belajar sedangkan Laila adalah seorang anak yang selalu belajar sampai lupa bermain. Hampir tiap hari Jamilah memarahi Parto.

‘Kamu itu sukanya main terus, tidak pernah belajar….kamu itu harus meniru Laila, anaknya Kyai Harun yang selalu rangking kelas!’

Kata-kata itu hampir setiap hari masuk ke telinga kanan Parto lalu mampir sebentar di otaknya sebelum keluar dari telinga sebelah kiri. Jika mendengar kata-kata tersebut Parto biasanya langsung ngeloyor keluar rumah untuk bermain bersama teman-temannya. Baginya Laila hanyalah anak rumahan yang tidak tahu bagaimana caranya menikmati keindahan desa.

Kenyataannya memang Parto tidak pernah menang dari Laila dalam hal prestasi kelas. Bahkan ketika ujian nasional kelas 6, Laila mendapatkan nilai tertinggi dan menjadi lulusan terbaik. Semua orang desa memujinya sebagai siswa yang harus diteladani oleh semua anak-anak desa. Para orang tua selalu berharap anak-anak mereka bisa menjadi bintang kelas dan mengalahkan Laila.

Sedangkan Parto berada diperingkat paling bawah dari 40 siswa. Tidak ada yang memperhatikan prestasi Parto karena mereka semua sudah tahu bahwa Partolah yang akan mendapatkan posisi juru kunci pada acara kelulusan siswa kelas 6 di sekolah tersebut. Toh dia tidak merasa kecewa karena baginya itu adalah prestasi yang sudah sangat baik mengingat malam sebelum ujian nasional dia menonton video semalam suntuk.

Kegemaran Parto bermain tersebut akhirnya menggiringnya ke pesantren. Orang tua Parto sudah mantap untuk mengungsikannya dari desa agar tidak bermain lagi. Maka dipilihlah pesantren dimana dulu bapaknya pernah nyantri yang letaknya sekitar 50km dari Desa Watu Jati. Pesantren tersebut dipilih karena selain menyediakan pengajian kitab-kitab klasik juga mempunyai sekolah umum mulai dari tingkat dasar sampai menengah atas.

Parto juga tidak keberatan dengan ide orang tuanya tersebut karena baginya pesantren sama saja dengan masjid. Dia bahkan bisa mempunyai lebih banyak teman dan tidak pernah dibandingkan lagi dengan Laila. Maka dia juga ingin secepatnya pergi ke pesantren tersebut. Hanya sang kakek, Dulkarim yang merasa agak keberatan jika Parto tinggal di pesantren karena masih terlalu kecil. Selain itu dia juga merasa kehilangan cucu yang paling disayanginya tersebut. Apalagi Parto harus tinggal di pesantren karena letak pesantren yang jauh dari desa.







   

Selasa, 03 April 2012

PARTO LARI TELANJANG


Seri 'Novel Parto Da Gama, Kisah Santri Desa Menaklukan Dunia'

Lima tahun setelah kelahiran anaknya, Jamilah dan Salam kini tinggal dirumah mereka sendiri yang letaknya bersebelahan dengan rumah orang tuanya. Salah satu ciri khas masyarakat di Desa Watu Jati adalah adanya kelompok-kelompok rumah yang berjajar saling berhadap-hadapan dengan satu mushalla dibagian tengahnya. Satu kelompok biasanya terdiri dari keluarga yang berdomisili di desa tersebut secara turun temurun. Besar kecilnya keluarga bisa dilihat dari banyaknya rumah yang ada di masing-masing kelompok.

Rumah Jamilah adalah rumah yang ketiga di jajaran kelompok rumahnya Dulkarim. Artinya, ada satu rumah lagi yang ada di kelompok tersebut, yakni rumah milik Aliyah, kakak perempuan Jamilah yang telah lebih dulu membangun rumah disamping kanan dari rumah Dulkarim. Aliyah tinggal bersama Kasan suaminya dan dua anak mereka. Anak sulungnya bernama Ilyas yang sudah sekolah kelas 5 Sekolah Dasar yang berada di desa dan satunya lagi anak perempuan bernama Alfiyah yang masih duduk di kelas 3 SD.

Jamilah dan Salam berhasil membangun rumah dari hasil jerih payah mereka membantu orang tua dan kadangkala menjadi buruh tani. Umumnya upahnya berupa gabah atau jenis panenan lainnya yang kemudian langsung dijual kepada tengkulak. Uang hasil menjual gabah tidak disimpan di bank karena memang tidak ada bank di sekitar Desa Watu Jati. Jamilah, seperti kebanyakan warga desa memang tidak mau menyimpang uang mereka di bank karena selain jauh, mereka juga meyakini bahwa bunga yang ditawarkan bank itu hukumnya haram.

Biasanya warga menyimpan uang di tiang-tiang rumah yang terbuat dari bambu. Caranya dengan melobangi bambu tepat dibawah ruas untuk memasukan uang kedalam bambu tersebut. Uang yang dimasukan terlebih dahulu dibungkus plastik agar tidak dimakan hewan pengerat yang biasanya memakan bambu kering. Pengambilan uang didasarkan pada kebutuhan mendesak dan jika sudah diambil, bambu tersebut tidak bisa digunakan untuk menyimpan uang lagi karena pengambilan uang adalah dengan cara melobangi ruas bambu bagian. Jika tidak ada keperluan, biasanya uang diambil setelah ruas bambu tersebut penuh. Atau mencari ruas bambu lain untuk dijadikan tabungan. Jadi kegemaran menabung masyarakat Desa Watu Jati bisa diamati dari berapa banyak lobang yang ada ditiang-tiang rumah mereka.

Jamilah selalu rajin menabung untuk masa depan Parto kecil. Dia bercita-cita mengirim Parto ke pesantren agar kelak dia bisa menjadi seorang kyai. Selain itu, biaya di pesantren sangat murah dan terjangkau oleh keluarga Jamilah yang terbilang miskin. 

Namun Parto kecil tidak pernah tidur dirumah orang tuanya. Dia lebih memilih tinggal bersama kakek dan neneknya. Parto tidak suka tidur bersama orang tuanya karena setiap malam lampu pijar dimatikan dengan alasan untuk menghemat minyak tanah. Parto sering ketakutan dan akhirnya sang kakek, Dulkarim meminta kepada Jamilah agar Parto diijinkan untuk tidur dirumahnya. Oleh karena itu semenjak ada Parto, rumah Dulkarim tidak pernah gelap gulita dimalam karena karena Dulkarim selalu menyalakan lampu pijar dirumah agar Parto tidak ketakutan. Karena kebiasaan itulah Parto lebih sering menghabiskan waktunya dirumah Dulkarim.

Parto beruntung punya kakek, Dulkarim yang sangat menyayanginya. Kemanapun dia pergi selalu teringat sama Parto dan seringkali mengajak Parto ke sawah untuk menemaninya bekerja atau ke sungai ketika mandi. Maklum, Parto adalah cucunya yang paling kecil. Anak-anak dari Aliyah sudah beranjak dewasa dan sering bermain sendiri.

Selain bekerja di sawah, Dulkarim juga biasa pergi ke kebun tebu milik pemerintah yang letaknya sekitar lima kilo meter dari desa. Dia pergi ke perkebunan tersebut setiap hari Sabtu untuk mencari daun tebu kering dengan berjalan kaki melintasi persawahan. Daun tebu tersebut untuk dibuat atap rumah dan dijual kepada orang yang membutuhkan. Warga desa menyebutnya dengan atap welit karena proses pembuatannya dengan cara dililit atau dijepit dengan bambu.

Setiap pulang Dulkarim selalu menyelipkan dua batang tebu disela-sela ikatan daun tebu kering tersebut. Kemudian dia membawa pulang dengan cara dipikul memakai bambu. Satu ikat di depan dan satunya lagi di belakang. Jadi ada satu batang tebu dimasing-masing ikatan tersebut. Tebu itu untuk oleh-oleh cucu kesayangannya, Parto. Jadi ketika Parto melihat ada ikatan daun tebu kering dibelakang rumah, dia sudah menduga bahwa didalamnya pasti terselip tebu yang dibawa oleh kakeknya.

Jika pergi kesawah, Dulkarim biasanya membawa keranjang yang dipikul untuk membawa hasil pertanian pulang. Tak ketinggalan Parto juga ikut kakeknya tersebut untuk bermain disawah. Karena letak sawah yang agak jauh dari rumah, biasanya Dulkarim memasukan Parto kedalam keranjang. Satu keranjang berisi Parto dan keranjang lainnya diisi dengan bahan makanan untuk dimakan disawah dan ditambahi batu agar bobotnya sama dengan Parto untuk menjaga keseimbangan.

Menjelang senja sehabis pulang dari sawah, Dulkarim sering mengajak Parto untuk mandi bersama-sama di sungai. Biasanya dia memanggul Parto sembari berenang untuk mencari kepiting sungai. Keluarga besar Dulkarim dan juga kebanyakan masyarakat Desa Watu Jati memang mengandalkan sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mulai dari mencuci, mandi dan buang air besar. Aliran sungai yang jernih tak menarik minat para penduduk untuk membangun kamar mandi. Jika pun ada sumur, biasanya untuk keperluan memasak dan air minum.

Suatu malam sehabis maghrib, Ilyas, kakak sepupu Parto mengajak Parto untuk buang air besar di sungai yang berada di samping rumahnya. Biasanya anak kecil jarang buang air besar pada malam hari. Bukan karena tidak ingin namun lebih karena rasa takut. Takut karena dimarahi orang tua atau takut dengan hantu. Namun kali ini Ilyas tak kuasa menahan mules perutnya namun tidak berani meminta orang tuanya untuk mengantarkannya ke sungai. Jadi dia mendatangi Parto dan memintanya dengan hati-hati agar tidak ada yang tahu bahwa malam itu mereka pergi ke sungai.

To…ayo ke sungai. Aku mau buang air besar, sudah ga tahan…! Pinta Ilyas sambil memegangi perutnya. Dia juga sudah membawa lampu senter, yakni lampu yang menggunakan tenaga baterai. Biasanya lampu ini dipakai oleh bapaknya untuk ronda desa atau ketika melakukan perjalanan jauh di malam hari.

'Ayo kang, aku juga mau pipis!' Parto menimpali.
Kemudian mereka berdua berangkat ke sungai dengan tergesa-gesa. Ilyas ingin cepat sampai di sungai yang memisahkan Desa Watu Jati dan persawahan. Jadi ada bangunan jembatan yang terbuat dari bambu untuk menghubungkan desa dengan persawahan. Orang-orang desa menyebut jembatan tersebut dengan ‘kretek’.  Disebut dengan kretek karena jika ada orang jalan diatasnya, akan ada bunyi kretek…kretek.

Ilyas mengajak Parto untuk turun ke sungai dibawah jembatan. Ilyas menyalakan lampu senter untuk mencari jalan dan menemukan tempat yang tepat untuk buang hajat. Tanpa pikir panjang mereka langsung membuka celana dan duduk diatas batu yang banyak terdapat di sungai. Parto yang agak ketakutan memilih untuk duduk diatas batu disamping Ilyas dan meminta Ilyas untuk terus menghidupkan lampu senter agar suasana tidak gelap gulita.

Selang beberapa detik, Parto dan Ilyas mendengar suara jembatan berbunyi.
Kretek….kretekkk…kreetteeeekkk…. suaranya begitu sangat jelas sekali terdengar oleh Parto dan Ilyas karena mereka memang duduk dibawah jembatan tersebut.

‘Kang, siapa itu yang berjalan diatas jembatan, coba kamu arahkan lampu senter itu kesana!’ pinta Parto sambil memegangi tangan Ilyas.

Sebelum Parto selesai berbicara, Ilyas sudah terlebih dahulu mengarahkan lampu senternya keatas jembatan karena penasaran siapa sebenarnya yang sedang berjalan diatas jembatan tersebut. Lalu mereka sangat kaget karena setelah lampu senter diarahkan tepat diatas jembatan tersebut Parto dan Ilyas tidak melihat seorangpun yang berjalan diatas jembatan tersebut.

‘Genderuwoooooo…………’ Parto dan Ilyas berteriak bersamaan sembari berlari keluar dari sungai tanpa memperhatikan lagi apakah mereka sudah memakai celana atau belum. Genderuwo adalah hantu yang digambarkan sebagai makhluk yang sangat besar dan menyeramkan.

‘Kakeeeekkkkk’……’bapaakkk’….’kakeeekkkk’…..’ibuu’…………..teriak mereka bersahut-sahutan sambil terus berlari menuju rumah dengan celana yang masih dibawah lutut. Jadi mereka berlari sekuat tenaga tetapi tidak bisa cepat karena celana mereka belum dinaikan sehingga pelarian mereka menuju rumah terasa sangat lama.

Orang tua Parto beserta keluarga besar Dulkarim yang masih berada di mushalla hanya tertawa melihat Parto dan Ilyas yang lari terbirit-birit terlebih lagi melihat dua anak kecil tersebut berlari dengan telanjang. Keluarga Dulkarim tahu bahwa dua anak kecil tersebut baru saja dari sungai namun mereka tidak mengetahui bahwa Parto dan Ilyas baru saja melihat hantu yang sangat menakutkan. Lalu mereka menceritakan tentang hantu tersebut namun Dulkarim malah tertawa terbahak-bahak. 

Memang biasanya orang dewasa hanya menanggapi cerita anak kecil dengan gurauan, apalagi tentang hantu. Jika tidak begitu, mereka justru malah menakut-nakuti anak kecil agar tidak keluyuran malam hari agar tidak digondol sama hantu. Oleh karena itu sangat jarang sekali anak kecil minta diantar ke sungai oleh orang tuanya dimalam hari dengan alasan ingin buang air. Lebih baik mereka menunggu sampai subuh dan baru buang air besar setelah matahari terbit.

Minggu, 01 April 2012

LAHIRNYA SEORANG RAJA

Seri Novel 'Parto Da Gama, Kisah Santri Desa Menaklukan Dunia'

Hari Jumat merupakan hari yang istimewa di mitologi Jawa. Saking istimewanya, banyak orang bahkan sampai mengkeramatkan hari tersebut. Sebagian besar dari mereka juga menganggap bahwa Hari Jumat adalah hari kebangkitan para roh yang masih penasaran terhadap kehidupan duniawi. Mereka berusaha masuk ke dunia manusia dalam berbagai wujud yang oleh kebanyakan orang disebut sebagai hantu gentayangan dengan penampakan yang menyeramkan.

Gambaran mengenai kekeramatan Hari Jumat tersebut juga bisa dirasakan di Desa Watu Jati, sebuah desa terpencil di sebelah selatan kota Banyuwangi. Desa Watu Jati bersebelahan langsung dengan hutan Alas Purwo, yakni sebuah hutan lindung alami di bagian pisisir selatan Banyuwangi yang terkenal dengan kekuatan mistisnya. Kekuatan mistis Alas Purwo bahkan konon bisa menyembunyikan Supriyadi, tokoh pejuang PETA yang berasal dari Blitar ketika dikejar oleh penjajah Jepang. Ada juga yang beranggapan bahwa perubahan politik Indonesia bisa dilihat dari Alas Purwo karena disitulah sebenarnya inti dari pusaran politik nusantara di era kerajaan.

Pada Bulan Suro atau Bulan Muharam pada penanggalan Islam, Alas Purwo selalu ramai dikunjungi oleh paranormal dari berbagai penjuru di Indonesia yang ingin mendapatkan kesaktian. Mereka melakukan berbagai macam ritual seperti tapa pati geni, yakni bertapa dalam kegelapan, puasa tujuh hari, dan berbagai jenis ritual lain yang dianggap bisa menambah kesaktian. Puncak keramaian di Alas Purwo adalah pada Hari Jumat Manis atau Jumat Legi, yakni sebuah penanggalan Jawa yang hanya ada sekali dalam setiap bulan. Jumat manis  dipercayai akan membaca berkah bagi siapapun yang melakukan ritual pada hari tersebut.

Oleh karenanya, menjelang Jumat Manis Bulan Suro, Desa Watu Jati selalu ramai karena menjadi persinggahan terakhir para petualang dunia mistis tersebut. Biasanya mereka mampir di warung untuk sekedar melepas lelah sambil minum atau makan sebelum melanjutkan perjalanan ke tengah hutan. Para petualang mistis tersebut sering menyebut Desa Watu Jati sebagai pintu masuk ke dunia ghaib karena Desa Watu Jati adalah desa terakhir sebelum para petuang mistis tersebut masuk ke hutan.

Meskipun jalan ke Alas Purwo sudah bisa dilalui oleh kendaraan bermotor, tapi para petualang tersebut memilih untuk berjalan kaki. Mereka percaya jika naik kendaraan bermotor, maka kesaktian yang akan didapatkan tidak akan maksimal atau bahkan bisa gagal.

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, hari itu Desa Watu Jati sangat ramai oleh para pendatang. Dan ketika banyak pendatang, maka semua orang kampung umumnya sudah mengetahui bahwa hari itu adalah satu hari menjelang Jumat Manis di Bulan Suro. Karena biasanya desa ini tidak pernah didatangi oleh pihak luar termasuk petinggi kabupaten. Letaknya yang jauh dari pusat pemerintahan dan akses jalan yang jelek menjadi alasan utama malasnya para penggedhe kabupaten untuk menengok eksotisme alam dan keramahan penduduk Desa Watu Jati.

Namun saat itu suasana menjelang Jumat Manis terasa mencekam. Angin kencang dan hujan gerimis belum berhenti seharian. Jadi para petualang mistis tersebut memutuskan untuk secepatnya meninggalkan desa karena takut ada halangan di tengah hutan. Desa Watu Jati kembali sepi dan semakin sepi karena anak-anak kecil yang biasanya bermain di jalanan dilarang keluar rumah oleh orang tua mereka. Gerimis masih terus mengguyur semua sudut desa sampai malam hari dan denyut nadi desa terasa berhenti karena kepergian para petualang mistis dan guyuran hujan.

Keesokan harinya hujan masih belum menampakan tanda mulai mereda bahkan semakin deras sepanjang hari mulai Hari Jumat siang sehabis Dhuhur sampai malam hari. Hujan dua hari berturut-turut tersebut telah membuat suasana di Desa Watu Jati  semakin mencekam. Apalagi Desa Watu Jati belum dialiri listrik. Penerangan kampung hanya mengandalkan lampu pijar dari rumah-rumah penduduk yang hanya menyala mulai maghrib sampai setelah isya. Setelah itu, kampung menjadi gelap gulita sampai pagi hari karena semua penduduk mematikan lampu pijar dirumah-rumah mereka untuk menghemat minyak..

Namun pada malam itu ada satu lampu pijar dari salah satu rumah yang terus menyala diantara guyuran hujan dan kibasan angin kencang. Masyarakat di kampung umumnya mengetahui bahwa jika lampu pijar masih menyala maka pertanda masih ada kehidupan didalam rumah tersebut. Nyala lampu pijar bisa dilihat dari luar karena sebagian besar dinding rumah penduduk terbuat dari anyaman bambu. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan dinding gedhek. Oleh karenanya ada beberapa rumah yang sengaja tidak mematikan lampu sepanjang malam untuk mengelabuhi maling agar mereka menyangka bahwa masih ada orang yang belum tidur di rumah tersebut.

Namun nyala lampu pijar di rumah yang berada persis dipinggir hutan tersebut tidak biasa karena setiap malam selalu dimatikan untuk menghemat minyak. Cahaya lampu pijar menyelinap di sela-sela dinding gedhek seakan ingin melawan kilatan cahaya petir. Nyala lampu rumah itu ingin melawan keangkeran malam dan memberi pesan kepada seisi kampung bahwa malam itu bukanlah malam yang mencekam, melainkan malam yang penuh berkah.

Itulah rumah Dulkarim, seorang petani paruh baya yang hidup bersama dengan istrinya, Rukayah. Mereka hidup bersama dengan anak perempuannya yang bernama Jamilah dan menantunya, Abdus Salam seorang santri alumni pesantren terbesar di kota itu. Jamilah dan Salam adalah pasangan pengantin yang sudah menikah hampir dua tahun lalu. Sebagai keluarga petani, hidup keluarga tersebut sangat sederhana seperti kebanyakan keluarga yang ada di kampung Watu Jati.

Kini pengantin tersebut sedang berharap-harap cemas karena masa mengandung  Jamilah sudah Sembilan bulan. Menurut penuturan Mbok Jinah, seorang dukun beranak yang telah dipercaya oleh masyarakat desa selama bertahun-tahun untuk menangani persalinan, Jamilah akan melahirkan anaknya pada Bulan Suro tersebut. Namun mereka belum tahu kapan pastinya anak mereka akan lahir.

Nyala lampur pijar dirumah itu adalah permintaan dari Jamilah kepada Salam, suaminya karena dia merasakan perutnya sudah mulai terasa sakit sejak dua hari lalu. Jadi malam itu semua seisi rumah tidak ada yang tidur, menjaga Jamilah dan berharap sang jabang bayi cepat keluar untuk melambatkan detak jantung seisi rumah yang begitu kawatir.

Malam sudah semakin larut dan Jamilah merasakan hentakan kaki dan tangan bayi di rahimnya semakin kuat. Kadang dia meringis kesakitan dan meminta Salam untuk menambahkan bantal dibagian belakang leher dan dikepalanya untuk meninggikan tubuh bagian atas Jamilah. Sedangkan orang tuanya sesekali memijat kedua kaki Jamilah agar tidak kaku. Sesekali ibunya mengoleskan minyak kelapa di beberapa bagian tubuh Jamilah agar dia merasa nyaman. Namun ternyata pijatan dan olesan minyak tersebut belum mengurangi sakitnya Jamilah.

‘Kang, tolong panggilkan Mbok Jinah, aku sudah tidak kuat lagi, hentakan tubuh bayi ini terasa mau menembus perutku!’ Kata Jamilah sambil menatap Salam dan memegangi tangan suaminya tersebut.

‘Iya Dik, aku segera kerumahnya!’ jawab Salam singkat sambil bergegas mengambil payung yang terletak disudut ruang tengah.

Rumah Mbok Jinah hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumah Salam. Jadi dia tidak memerlukan waktu lama untuk sampai ke rumah dukun beranak yang sudah sangat dikenal oleh seisi kampung. Mbok Jinah selalu paham jika ada laki-laki muda datang kerumahnya tengah malam pasti ada orang yang akan melahirkan dan butuh bantuannya. Oleh karenanya ketika dia melihat Salam yang berdiri di depan pintunya tengah malam, Mbok Jinah seperti sudah melihat Jamilah yang mengerang kesakitan. Maka bergegaslah kedua orang berbeda usia tersebut untuk menolong Jamilah.

Sesampainya dirumah Dulkarim, Mbok Jinah melihat Jamilah yang bernafas tersengal-sengal karena menahan sakit. Dulkarim dan Rukayah masih memijit anak perempuannya itu untuk ikut merasakan sakit yang sedang dirasakan Jamilah. Salam juga tidak kalah kawatir karena baru kali ini melihat seorang perempuan yang akan melahirkan. Namun Mbok Jinah masih terlihat santai dan perlahan-lahan dia duduk diantara dua kaki Jamilah yang sedang berbaring ditempat tidur.

Mbok Jinah yang sudah berpengalaman bertahun-tahun menangangi persalinan di kampung tersebut sudah mengetahui kapan Jamilah boleh mengejan dan kapan dia harus ambil nafas untuk mendorong sang jabang bayi keluar. Ekspresinya yang santai sangat membantu psikologis Salam dan keluarganya. Setidak-tidaknya, mereka punya harapan bahwa dengan bantuan Mbok Jinah, sang jabang bayi dan istrinya akan selamat.

Selang beberapa menit dari kedatangan Mbok Jinah, lalu pecahlah keheningan malam Desa Watu Jati oleh suara tangisan bayi dari rumah Dulkarim. Seorang bayi laki-laki telah tercatat sebagai warga baru Desa Watu Jati. Jamilah berusaha tersenyum tipis meskipun guratan wajah dan peluh yang membasahi wajahnya menyiratkan betapa dia belum terbebas dari kelelahan.

Salam menangis terharu sambil memeluk tubuh istrinya yang masih terbaring di tempat tidur. Sedangkan Rukayah, istrinya Dulkarim tersenyum bahagia dan mulai membantu Mbok Jinah membersihkan darah yang ada ditubuh sang jabang bayi.

Dulkarim bergegas melihat jam dinding tua yang ada di ruang tengah. Dilihatnya jarum jam menunjuk ke angka 4 lebih 10 menit atau sudah masuk waktu Subuh. Lalu dia tiba-tiba ingat rombongan para petualang mistis kemarin. Artinya sang jabang bayi tersebut lahir di Hari Sabtu.

‘Alhamdulilah, berarti hari ini Hari Sabtu Pahing’!! kata Dulkarim lirih sambil mengusap mukanya dengan kedua tangannya. Dia percaya bahwa Sabtu itu adalah puncak dari ‘dino’ atau hari dalam penanggalan Jawa karena penanggalan Jawa dimulai dari hari Minggu. Minggu memang diyakni oleh sebagian besar masyarakat Desa Watu Jati sebagai hari yang mempunyai hitungan paling rendah sedangkan Sabtu mempunyai hitungan paling tinggi, yakni 9.

Sedangkan Pahing diyakini sebagai ‘pungkasane dino’ atau penyempurna hari karena penanggalan Jawa dimulai dari Pon, kemudian Wage, Kliwon, Legi atau biasa dikenal dengan Manis dan kemudian berakhir dengan Pahing. Pon mempunyai hitungan paling kecil sedangkan Pahing mempunyai hitungan paling besar, yakni 9. Jadi orang yang lahir pada Hari Sabtu Pahing mempunyai hitungan 18 dan tidak ada orang yang melebihi hitungan tersebut.

Oleh karenanya mayoritas masyarakat Desa Watu Jati percaya bahwa siapa saja yang lahir pada hari Sabtu Pahing maka dia seperti raja. Tidak ada yang bisa mengalahkan posisi raja karena orang-orang yang lahir dibawah angka tersebut secara hitungan matematis sudah kalah. Itulah yang membuat Dulkarim bersyukur karena anak dari Jamilah kelak diharapkan benar-benar bisa menjadi raja.

Lalu Dulkarim bergegas ingin melihat cucunya yang diletakan disamping Jamilah. Dia melihat cucu laki-lakinya tersebut dengan penuh rasa ingin tahu. Selama ini dia hanya mempercayai tradisi yang telah lama diyakini oleh masyarakat Desa Watu Jati. Dulkarim seakan tak sabar ingin melihat cucunya tersebut menjadi orang dewasa dan ingin membuktikan apa benar dia bisa melakukan apapun seperti raja.

‘Hari ini telah lahir seorang raja dan semoga kelak ketika besar dia juga akan menjadi seorang raja yang berguna bagi semua makhluk Tuhan. Aku memberi nama Ahmad Suparto…agar kelak dia menjadi seorang Muslim yang tidak akan lupa dengan asal usulnya, yakni Desa Watu jati!’ kata Dulkarim sambil melihat Jamilah dan Salam.