Sabtu, 31 Maret 2012

MBOK DARMI DAN KENAIKAN BBM

‘Parto Da Gama, Kisah Santri Desa Menaklukan Dunia’


Mbok Darmi adalah janda tua yang sudah berumur sekitar 60 tahun. Dia telah lama hidup sendiri karena ditinggal mati suaminya. Anak-anaknya sudah berkeluarga dan merantau ke berbagai kota. Mereka hanya kembali setahun sekali pada saat hari raya dan berkumpul bersama dalam kesederhanaan Idul Fitri yang maha suci. 

Mbok Darmi adalah perempuan tua yang sangat tangguh. Meskipun hidup sendiri, namun keinginannya untuk bisa melihat kepulangan anak-anaknya setiap hari raya telah menguatkan energinya untuk terus bertahan hidup. Setiap hari dia bekerja sebagai petani disawah hasil peninggalan mantan suaminya. Ketika malam tiba dia menggelar tikar pandan di atas ranjang yang terbuat dari bambu, ditemani dengan bantal kapuk yang mulai mengeras.

Rumah Mbok Darmi terletak dibelakang rumahku, yakni sebuah desa yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Banyuwangi. Rumah Mbok Darmi yang terbuat dari kayu dan bambu serta berarsitektur Joglo tersebut seperti raja tua yang berdiri ditengah-tengah kurcaci karena banyaknya rumah baru bergaya minimalis yang mulai banyak menjamur disekitarnya. Orang-orang kampung yang banyak merantau ke kota rupanya membawa perubahan terhadap arsitektur rumah mereka.

Namun tidak dengan rumah Mbok Darmi. Selain karena faktor ekonomi yang pas-pasan, Mbok Darmi ingin menikmati masa tuanya dengan melihat langit-langit rumahnya yang mulai rapuh untuk mengenang masa mudanya. Jika arsitektur rumah diganti, itu sama halnya Mbok darmi seperti seekor ikan air tawar yang dipindahkan ke lautan lepas.  

Setiap pagi kepulan asap dapur Mbok Darmi keluar diantara celah-celah genteng yang telah menghitam pertanda tidak ada cat atau lapisan lain diatasnya. Bunyi perkakas dapur ketika dia memasak juga bisa terdengar dari rumahku karena dinding-dinding rumah Mbok Darmi terbuat dari anyaman bambu atau ‘gedhek’ yang menjadi ciri khas bangunan rumah tua sedangkan dinding rumah-rumah baru memakai bahan dasar batu bata.

Selepas maghrib, kilatan cahaya lampu pijar dari rumahnya Mbok Darmi terlihat keluar dari celah-celah gedhek dinding rumah. Cahaya lampu pijar juga menyelinap keluar dari bawah gedhek karena anyaman bambu tersebut yang telah rapuh tertimpa air hujan dan mulai dimakan rayap. Setiap sehabis isya, kilatan lampu pijar itu selalu padam menandakan bahwa Mbok Darmi mematikan lampu pijarnya dan bersiap untuk tidur.

Itulah dunia Mbok Darmi, perempuan tua yang menghabiskan sisa hidupnya sendiri dalam kesederhanaan. Hampir di setiap pagi aku selalu berusaha untuk melihat atap rumahnya untuk memastikan bahwa kepulan asap masih keluar dari rumahnya pertanda Mbok Darmi masih bisa melakukan aktifitas seperti biasa. Aku bersama para tetangga juga sering menjenguk Mbok Darmi. Jika ada acara hajatan, semua orang kampung selalu mengingat Mbok Darmi dan membawakan bingkisan khusus buatnya.

Semenjak ada program pemerintah berupa Bantuan Langsung Tunai, Mbok Darmi selalu kebagian haknya. Para tetangga dan tetua kampung memang menyarankan agar Mbok Darmi mendapat prioritas karena dia memang layak untuk diberi bantuan, Meskipun demikian, Mbok Darmi masih tetap bekerja setiap hari ke sawah. Rutinitas tersebut mungkin sudah berlangsung sebelum aku pertama kali bisa melihat dan mengingat kejadian di sekitarku.

Pun demikian, aku sebagai tetangga dekatnya belum pernah mendengar perempuan yang telah berambut putih itu mengeluh tentang kehidupannya yang mungkin menurut Bank Dunia akan digolongkan orang yang ’super miskin.’ Toh Mbok Darmi adem ayem tentang hiruk pikuk pengukuran kaya dan miskin apalagi tentang isu politik yang tidak pernah mampu mengganjal laparnya.

Bahkan ketika orang-orang mulai menjerit dan ketakutan terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak/BBM, Mbok Darmi tidak mengeluh sedikitpun. Padahal seharusnya dia tahu bahwa akibat dari dinaikkannya BBM akan mengakibatkan naiknya harga beras, bumbu-bumbu dapur dan kebutuhan sehari-hari lainnya yang dibelinya di pasar setiap Hari Sabtu. Tetapi Mbok Darmi tidak bersuara sedikitpun. Yang penting baginya adalah bagaimana nanti nasi yang putih itu bisa sedikit ada warna merahnya dan tidak hambar ketika dimakan.

Lalu, kenapa dia yang tidak pernah memakai bensin karena memang tidak bisa naik motor dan tidak pernah memakai minyak tanah untuk memasak karena tidak punya kompor tidak mengeluh seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang-orang pintar di ibu kota? Atau berlaku beringas seperti para demonstran dan aparat yang seperti cacing kepanasan padahal baru beberapa jam terkena terik matahari? Padahal politisi, ilmuwan, mahasiswa, sampai agamawan pun semua berteriak dan mengeluh karena naiknya BBM ‘ditakutkan’ akan mencekik tenggorokan mereka.

Tidakkah Mbok Darmi sadar bahwa selama ini dialah yang layak disebut korban dari kenaikan harga BBM? Karena dialah yang seharusnya berhak untuk berteriak karena dia tidak pernah memakai BBM namun terkena imbas dari kenaikan BBM? Ataukah ketidaksadarannya disebabkan karena dia buta terhadap ekonomi dan tuli terhadap politik?

Seharusnya dia tahu bahwa dialah yang lebih berhak untuk membakar ban di jalanan untuk demonstrasi. Dia yang seharusnya lebih berhak untuk melempari batu kepada polisi karena selama ini lidahnya hanya mampu merasakan lezatnya garam dan sambal terasi. Pizza, donat, sate, gule yang mungkin menjadi santapan sehari-hari para demonstran dan politisi menjadi barang haram buat Mbok Darmi karena sepotong pizza bisa sama artinya dengan nasi dua bakul yang bisa menyambung hidupnya selama empat hari.

Kesederhanaan Mbok Darmi telah menyadarkanku bahwa derajat atau gelar yang tinggi belum bisa menjadi jaminan bahwa perilaku manusia akan penuh keadilan dan kesahajaan. Atau mungkin derajat itulah yang justru menyebabkan ‘halusinasi ketakutan’ yang selama ini telah merasuki pikiran para cerdik pandai sehingga mereka tidak tahu bahwa hidup tidak akan berhenti ketika harga BBM semakin tak terbeli.

Atau mungkin orang-orang yang selama ini berteriak dan anarkhis sudah tidak mempedulikan lagi nasib Mbok Darmi. Tidakkah mereka merasa malu dengan kesahajaan mbok darmi yang setiap hari rela menyusuri sungai untuk mencari kayu bakar. Atau justru para cerdik pandai tersebut mencibir dalam hati….’ah dia perempuan tua yang tidak tahu politik dan mungkin sudah tidak berfikir nasib orang lain’. Dia tidak layak disebut sebagai generasi emas Indonesia.

Mbok Darmi…, andai saja ada jutaan orang Indonesia seperti dia, yang bisa hidup tanpa BBM, mungkin pemerintah tidak perlu mengimpor BBM sehingga harga-harga tidak naik. Hidup bersahaja apa adanya tanpa harus menutupi ‘kemiskinan’ karena rasa malu sebagai akibat dari gaya hidup menjadi kunci agar seseorang bisa terus hidup tenang. Dalam skala yang lebih luas, pola hidup ala Mbok Darmi bisa menghasilkan sinergi positif dalam bernegara karena pemerintah punya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan rakyat sedangkan rakyat mendukung dengan pola hidup yang sederhana.

Mbok Darmi pantas diteladani oleh semua orang, tidak hanya oleh tetangganya melainkan oleh banyak orang yang mulai menjerit dan ketakutan menghadapi sulitnya hidup. Kalau yang dijadikan alasan penggila motor dan mobil pribadi adalah jeleknya sarana publik dan transportasi, tentu itu tidak berasalan karena dulu banyak masyarakat yang menggunakan moda transportasi non BBM. Namun toh mereka masih tetap bisa bekerja dan bisa hidup normal seperti Mbok Darmi.


Mbok Darmi menjadi simbol bahwa produktifitas dan daya juang manusia tidak bisa dikalahkan oleh terik matahari dan rendahnya gaji. Tetapi sayangnya, masyarakat sudah sangat tergantung terhadap teknologi dan menganggap kenaikan harga BBM akan membuat Indonesia kiamat.

Rabu, 28 Maret 2012

MELACAK JEJAK MOHAMMAD ABDUH



Muhammad Abduh (1849-1905), seorang intelektual Muslim dari Mesir yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran Islam di Indonesia pernah mengatakan bahwa Eropa lebih Islami dari negaranya. Abduh yang pernah tinggal di Perancis dan juga pernah mengunjungi Inggris sekitar satu abad yang lalu mengatakan bahwa dia melihat Islam di Eropa namun tidak ada orang Islam disana. Namun ketika kembali ke Masir, dia melihat begitu banyak orang Muslim tapi tidak melihat Islam.

Abduh ingin menegaskan bahwa Islam tidak harus dimaknai sebagai susunan tulisan suci yang dibaca oleh orang buta, Dia ingin menegaskan bahwa Islam adalah sesuatu yang hidup dan bisa memberikan kemaslahatan bagi manusia. Sama seperti pendapatnya Bung Karno yang mengatakan bahwa Islam itu berkembang, tidak harus copy paste dari masa lalu. Islam hadir sebagai juru selamat semua manusia sehingga umat Islam tidak seharusnya hanya terjebak dalam ritual keagamaan melainkan juga harus menggali sisi humanisme Islam. Abduh adalah sebagian dari ulama Islam yang ingin membumikan Islam.

Saya mulai mengenal pemikiran Abduh semenjak kuliah di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2004 lalu dan hampir semua mahasiswa mengalami eurofia terhadap isu kontekstualisasi Islam. Tokoh semacam Abduh, Arkoun, Fazlul Rahman dan An Naim menjadi idola bagi mahasiswa. Mereka tak ubahnya seperti ‘Indonesian idol’, sangat berpengaruh terhadap pola pikir mahasiswa mengenai kajian Islam kontemporer.

Selang tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 2007, saya mendapat beasiswa untuk belajar hukum perang dan hak asasi manusia dan diterima Universitas Lancaster yang terletak di sebuah desa kecil didekat Kota Manchester. Selama saya berada di Lancaster, sosok Abduh selalu hadir di hampir semua aktifitas yang saya lakukan. Saya selalu ingin membuktikan apa benar yang dikatakan oleh Abduh bahwa Eropa memang lebih Islami daripada Mesir dan juga Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia.

Memang selama satu tahun di Lancaster, saya merasakan semuanya terasa begitu Islami. Toleransi sangat dijunjung tinggi. Bahkan banyak pengumuman mengenai larangan diskriminasi dan perlakuan rasial yang ditempel di dinding kampus. Siapa saja yang merasa dirinya telah mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, berhak untuk melapor ke polisi atau ke bagian internasional di universitas.

Saya sering mendengar dosen yang kebanyakan sudah professor memanggil mahasiswa dengan sebutan ‘sir’ atau ‘mom’ ketika diskusi di kelas. Mereka ingin menunjukan bahwa posisi dosen itu sama dengan mahasiswa. Jika mahasiswa memanggil mereka ‘profesor’ atau ‘sir’, maka sudah seharusnya mereka memanggil mahasiswa dengan sebutan yang sepadan. Dosen begitu egaliter, menganggap mahasiswa sebagai ‘teman berdiskusi’, punya kedudukan yang sama, tidak memandang mereka dari strata yang lebih tinggi.

Kampus juga menyediakan tempat ibadah bagi mahasiswa. Biasanya tempat ibadah tersebut menjadi satu. Namun di Lancaster, mahasiswa Muslim menghendaki agar universitas menyediakan tempat khusus untuk mereka dan pihak universitas menyediakan tempat yang sampai sekarang dijadikan masjid kampus. Lalu saya berfikir, bukankah universitas negeri di Indonesia juga bisa menyediakan tempat ibadah bagi agama-agama semua mahasiswa. Apalagi sekarang APBN untuk pendidikan meningkat pesat dan tidak pernah habis setiap tahunnya. Alangkah Islaminya jika semua mahasiswa punya tempat ibadah sendiri-sendiri.

Jalan-jalan atau tempat umum lainnya juga merefleksikan Islam. Ketika pejalan kaki ingin menyeberang jalan di marka penyeberangan jalan, semua pengendara mobil, sepeda motor, dan sepeda gowes selalu berhenti untuk mendahulukan para penyeberang jalan. Saya pernah tidak berani menyeberang karena bayangan saya masih terpengaruh oleh jalanan di Indonesia yang menurut saya menjadi tempat paling berbahaya. Saya takut kalau mobil tersebut tidak berhenti. Namun ternyata si pengendara mobil berhenti dan melambaikan tangan tanda memberi jalan. 

Saya sering teringat betapa susahnya orang menyeberang jalan di Indonesia seperti di Jember. Pernah ada sekumpulan orang yang sudah lama menunggu di pinggir jalan didekat Masjid Jami’ Baitul Amin namun tidak bisa menyeberang karena tidak ada kendaraan yang mau berhenti atau hanya sekedar melambatkan laju kendaraannya. Bukankah seharusnya masjid tidak hanya menyuarakan Islam ketika adzan saja, melainkan bisa menyadarkan umat Islam bahwa mereka harus berperilaku Islami dalam kehidupan sehari-hari.

Di jalan-jalan seputar kampus juga pasti banyak mahasiswa Muslim. Namun semua tahu betapa susahnya menyeberang di Jalan Jawa pada saat jam sibuk kuliah dan biasanya menjadi semakin sulit ketika Bulan Ramadhan menjelang jam berbuka. Bukankah pendidikan agama (Islam) itu menjadi menjadi mata kuliah wajib dan sudah seharusnya mereka berperilaku Islami karena mayoritas sudah mengenal Islam sejak kecil.

Peradaban yang Islami juga bisa dijumpai pusat-pusat perbelanjaan di Inggris. Suatu saat saya pernah mengantri di kasir dan melihat ada seorang nenek yang berada diantrean kasir lainnya. Namun tiba-tiba seorang laki-laki yang ada didepannya mempersilahkan nenek tersebut untuk membayar lebih dulu. Lalu saya teringat kisahnya Sahabat Ali yang terlambat shalat berjamaah di masjid karena karena dia tidak berani menyalip orang tua yang sedang berjalan karena dia begitu menghormati orang tua.

Saya kira pemikiran Abduh tidak lapuk di Eropa meskipun sudah berusia satu abad. Terlepas dari semua kontroversi yang ada, Eropa adalah ‘blue print’ peradaban modern yang mengedepankan toleransi. Saya sering berfikir apakah itu merupakan wujud dari konsep al-ismah bi-al adamiyah nya Imam Hanafi yang mengatakan bahwa Islam menjunjung tinggi humanisme dan ‘perikemanusiaan’. Eropa bisa dijadikan cermin Islam yang mengajarkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memberi manfaat kepada manusia lainnya. Wallahualam bissawab