Minggu, 01 April 2012

LAHIRNYA SEORANG RAJA

Seri Novel 'Parto Da Gama, Kisah Santri Desa Menaklukan Dunia'

Hari Jumat merupakan hari yang istimewa di mitologi Jawa. Saking istimewanya, banyak orang bahkan sampai mengkeramatkan hari tersebut. Sebagian besar dari mereka juga menganggap bahwa Hari Jumat adalah hari kebangkitan para roh yang masih penasaran terhadap kehidupan duniawi. Mereka berusaha masuk ke dunia manusia dalam berbagai wujud yang oleh kebanyakan orang disebut sebagai hantu gentayangan dengan penampakan yang menyeramkan.

Gambaran mengenai kekeramatan Hari Jumat tersebut juga bisa dirasakan di Desa Watu Jati, sebuah desa terpencil di sebelah selatan kota Banyuwangi. Desa Watu Jati bersebelahan langsung dengan hutan Alas Purwo, yakni sebuah hutan lindung alami di bagian pisisir selatan Banyuwangi yang terkenal dengan kekuatan mistisnya. Kekuatan mistis Alas Purwo bahkan konon bisa menyembunyikan Supriyadi, tokoh pejuang PETA yang berasal dari Blitar ketika dikejar oleh penjajah Jepang. Ada juga yang beranggapan bahwa perubahan politik Indonesia bisa dilihat dari Alas Purwo karena disitulah sebenarnya inti dari pusaran politik nusantara di era kerajaan.

Pada Bulan Suro atau Bulan Muharam pada penanggalan Islam, Alas Purwo selalu ramai dikunjungi oleh paranormal dari berbagai penjuru di Indonesia yang ingin mendapatkan kesaktian. Mereka melakukan berbagai macam ritual seperti tapa pati geni, yakni bertapa dalam kegelapan, puasa tujuh hari, dan berbagai jenis ritual lain yang dianggap bisa menambah kesaktian. Puncak keramaian di Alas Purwo adalah pada Hari Jumat Manis atau Jumat Legi, yakni sebuah penanggalan Jawa yang hanya ada sekali dalam setiap bulan. Jumat manis  dipercayai akan membaca berkah bagi siapapun yang melakukan ritual pada hari tersebut.

Oleh karenanya, menjelang Jumat Manis Bulan Suro, Desa Watu Jati selalu ramai karena menjadi persinggahan terakhir para petualang dunia mistis tersebut. Biasanya mereka mampir di warung untuk sekedar melepas lelah sambil minum atau makan sebelum melanjutkan perjalanan ke tengah hutan. Para petualang mistis tersebut sering menyebut Desa Watu Jati sebagai pintu masuk ke dunia ghaib karena Desa Watu Jati adalah desa terakhir sebelum para petuang mistis tersebut masuk ke hutan.

Meskipun jalan ke Alas Purwo sudah bisa dilalui oleh kendaraan bermotor, tapi para petualang tersebut memilih untuk berjalan kaki. Mereka percaya jika naik kendaraan bermotor, maka kesaktian yang akan didapatkan tidak akan maksimal atau bahkan bisa gagal.

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, hari itu Desa Watu Jati sangat ramai oleh para pendatang. Dan ketika banyak pendatang, maka semua orang kampung umumnya sudah mengetahui bahwa hari itu adalah satu hari menjelang Jumat Manis di Bulan Suro. Karena biasanya desa ini tidak pernah didatangi oleh pihak luar termasuk petinggi kabupaten. Letaknya yang jauh dari pusat pemerintahan dan akses jalan yang jelek menjadi alasan utama malasnya para penggedhe kabupaten untuk menengok eksotisme alam dan keramahan penduduk Desa Watu Jati.

Namun saat itu suasana menjelang Jumat Manis terasa mencekam. Angin kencang dan hujan gerimis belum berhenti seharian. Jadi para petualang mistis tersebut memutuskan untuk secepatnya meninggalkan desa karena takut ada halangan di tengah hutan. Desa Watu Jati kembali sepi dan semakin sepi karena anak-anak kecil yang biasanya bermain di jalanan dilarang keluar rumah oleh orang tua mereka. Gerimis masih terus mengguyur semua sudut desa sampai malam hari dan denyut nadi desa terasa berhenti karena kepergian para petualang mistis dan guyuran hujan.

Keesokan harinya hujan masih belum menampakan tanda mulai mereda bahkan semakin deras sepanjang hari mulai Hari Jumat siang sehabis Dhuhur sampai malam hari. Hujan dua hari berturut-turut tersebut telah membuat suasana di Desa Watu Jati  semakin mencekam. Apalagi Desa Watu Jati belum dialiri listrik. Penerangan kampung hanya mengandalkan lampu pijar dari rumah-rumah penduduk yang hanya menyala mulai maghrib sampai setelah isya. Setelah itu, kampung menjadi gelap gulita sampai pagi hari karena semua penduduk mematikan lampu pijar dirumah-rumah mereka untuk menghemat minyak..

Namun pada malam itu ada satu lampu pijar dari salah satu rumah yang terus menyala diantara guyuran hujan dan kibasan angin kencang. Masyarakat di kampung umumnya mengetahui bahwa jika lampu pijar masih menyala maka pertanda masih ada kehidupan didalam rumah tersebut. Nyala lampu pijar bisa dilihat dari luar karena sebagian besar dinding rumah penduduk terbuat dari anyaman bambu. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan dinding gedhek. Oleh karenanya ada beberapa rumah yang sengaja tidak mematikan lampu sepanjang malam untuk mengelabuhi maling agar mereka menyangka bahwa masih ada orang yang belum tidur di rumah tersebut.

Namun nyala lampu pijar di rumah yang berada persis dipinggir hutan tersebut tidak biasa karena setiap malam selalu dimatikan untuk menghemat minyak. Cahaya lampu pijar menyelinap di sela-sela dinding gedhek seakan ingin melawan kilatan cahaya petir. Nyala lampu rumah itu ingin melawan keangkeran malam dan memberi pesan kepada seisi kampung bahwa malam itu bukanlah malam yang mencekam, melainkan malam yang penuh berkah.

Itulah rumah Dulkarim, seorang petani paruh baya yang hidup bersama dengan istrinya, Rukayah. Mereka hidup bersama dengan anak perempuannya yang bernama Jamilah dan menantunya, Abdus Salam seorang santri alumni pesantren terbesar di kota itu. Jamilah dan Salam adalah pasangan pengantin yang sudah menikah hampir dua tahun lalu. Sebagai keluarga petani, hidup keluarga tersebut sangat sederhana seperti kebanyakan keluarga yang ada di kampung Watu Jati.

Kini pengantin tersebut sedang berharap-harap cemas karena masa mengandung  Jamilah sudah Sembilan bulan. Menurut penuturan Mbok Jinah, seorang dukun beranak yang telah dipercaya oleh masyarakat desa selama bertahun-tahun untuk menangani persalinan, Jamilah akan melahirkan anaknya pada Bulan Suro tersebut. Namun mereka belum tahu kapan pastinya anak mereka akan lahir.

Nyala lampur pijar dirumah itu adalah permintaan dari Jamilah kepada Salam, suaminya karena dia merasakan perutnya sudah mulai terasa sakit sejak dua hari lalu. Jadi malam itu semua seisi rumah tidak ada yang tidur, menjaga Jamilah dan berharap sang jabang bayi cepat keluar untuk melambatkan detak jantung seisi rumah yang begitu kawatir.

Malam sudah semakin larut dan Jamilah merasakan hentakan kaki dan tangan bayi di rahimnya semakin kuat. Kadang dia meringis kesakitan dan meminta Salam untuk menambahkan bantal dibagian belakang leher dan dikepalanya untuk meninggikan tubuh bagian atas Jamilah. Sedangkan orang tuanya sesekali memijat kedua kaki Jamilah agar tidak kaku. Sesekali ibunya mengoleskan minyak kelapa di beberapa bagian tubuh Jamilah agar dia merasa nyaman. Namun ternyata pijatan dan olesan minyak tersebut belum mengurangi sakitnya Jamilah.

‘Kang, tolong panggilkan Mbok Jinah, aku sudah tidak kuat lagi, hentakan tubuh bayi ini terasa mau menembus perutku!’ Kata Jamilah sambil menatap Salam dan memegangi tangan suaminya tersebut.

‘Iya Dik, aku segera kerumahnya!’ jawab Salam singkat sambil bergegas mengambil payung yang terletak disudut ruang tengah.

Rumah Mbok Jinah hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumah Salam. Jadi dia tidak memerlukan waktu lama untuk sampai ke rumah dukun beranak yang sudah sangat dikenal oleh seisi kampung. Mbok Jinah selalu paham jika ada laki-laki muda datang kerumahnya tengah malam pasti ada orang yang akan melahirkan dan butuh bantuannya. Oleh karenanya ketika dia melihat Salam yang berdiri di depan pintunya tengah malam, Mbok Jinah seperti sudah melihat Jamilah yang mengerang kesakitan. Maka bergegaslah kedua orang berbeda usia tersebut untuk menolong Jamilah.

Sesampainya dirumah Dulkarim, Mbok Jinah melihat Jamilah yang bernafas tersengal-sengal karena menahan sakit. Dulkarim dan Rukayah masih memijit anak perempuannya itu untuk ikut merasakan sakit yang sedang dirasakan Jamilah. Salam juga tidak kalah kawatir karena baru kali ini melihat seorang perempuan yang akan melahirkan. Namun Mbok Jinah masih terlihat santai dan perlahan-lahan dia duduk diantara dua kaki Jamilah yang sedang berbaring ditempat tidur.

Mbok Jinah yang sudah berpengalaman bertahun-tahun menangangi persalinan di kampung tersebut sudah mengetahui kapan Jamilah boleh mengejan dan kapan dia harus ambil nafas untuk mendorong sang jabang bayi keluar. Ekspresinya yang santai sangat membantu psikologis Salam dan keluarganya. Setidak-tidaknya, mereka punya harapan bahwa dengan bantuan Mbok Jinah, sang jabang bayi dan istrinya akan selamat.

Selang beberapa menit dari kedatangan Mbok Jinah, lalu pecahlah keheningan malam Desa Watu Jati oleh suara tangisan bayi dari rumah Dulkarim. Seorang bayi laki-laki telah tercatat sebagai warga baru Desa Watu Jati. Jamilah berusaha tersenyum tipis meskipun guratan wajah dan peluh yang membasahi wajahnya menyiratkan betapa dia belum terbebas dari kelelahan.

Salam menangis terharu sambil memeluk tubuh istrinya yang masih terbaring di tempat tidur. Sedangkan Rukayah, istrinya Dulkarim tersenyum bahagia dan mulai membantu Mbok Jinah membersihkan darah yang ada ditubuh sang jabang bayi.

Dulkarim bergegas melihat jam dinding tua yang ada di ruang tengah. Dilihatnya jarum jam menunjuk ke angka 4 lebih 10 menit atau sudah masuk waktu Subuh. Lalu dia tiba-tiba ingat rombongan para petualang mistis kemarin. Artinya sang jabang bayi tersebut lahir di Hari Sabtu.

‘Alhamdulilah, berarti hari ini Hari Sabtu Pahing’!! kata Dulkarim lirih sambil mengusap mukanya dengan kedua tangannya. Dia percaya bahwa Sabtu itu adalah puncak dari ‘dino’ atau hari dalam penanggalan Jawa karena penanggalan Jawa dimulai dari hari Minggu. Minggu memang diyakni oleh sebagian besar masyarakat Desa Watu Jati sebagai hari yang mempunyai hitungan paling rendah sedangkan Sabtu mempunyai hitungan paling tinggi, yakni 9.

Sedangkan Pahing diyakini sebagai ‘pungkasane dino’ atau penyempurna hari karena penanggalan Jawa dimulai dari Pon, kemudian Wage, Kliwon, Legi atau biasa dikenal dengan Manis dan kemudian berakhir dengan Pahing. Pon mempunyai hitungan paling kecil sedangkan Pahing mempunyai hitungan paling besar, yakni 9. Jadi orang yang lahir pada Hari Sabtu Pahing mempunyai hitungan 18 dan tidak ada orang yang melebihi hitungan tersebut.

Oleh karenanya mayoritas masyarakat Desa Watu Jati percaya bahwa siapa saja yang lahir pada hari Sabtu Pahing maka dia seperti raja. Tidak ada yang bisa mengalahkan posisi raja karena orang-orang yang lahir dibawah angka tersebut secara hitungan matematis sudah kalah. Itulah yang membuat Dulkarim bersyukur karena anak dari Jamilah kelak diharapkan benar-benar bisa menjadi raja.

Lalu Dulkarim bergegas ingin melihat cucunya yang diletakan disamping Jamilah. Dia melihat cucu laki-lakinya tersebut dengan penuh rasa ingin tahu. Selama ini dia hanya mempercayai tradisi yang telah lama diyakini oleh masyarakat Desa Watu Jati. Dulkarim seakan tak sabar ingin melihat cucunya tersebut menjadi orang dewasa dan ingin membuktikan apa benar dia bisa melakukan apapun seperti raja.

‘Hari ini telah lahir seorang raja dan semoga kelak ketika besar dia juga akan menjadi seorang raja yang berguna bagi semua makhluk Tuhan. Aku memberi nama Ahmad Suparto…agar kelak dia menjadi seorang Muslim yang tidak akan lupa dengan asal usulnya, yakni Desa Watu jati!’ kata Dulkarim sambil melihat Jamilah dan Salam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar